ISU SEMASA,AKIDAH,HUKUM2

cinta adalah fitrah manusia..kita tidak dapat lari dari "cinta"..

Nabi Adam A.S sendiri di Syurga Allah S.W.T...yang dikurniakan pelbagai nikmat dari Allah S.W.T..tetapi juga berasa sunyi dan sepi...maka hadirlah Hawa sebagai asbab utk membahagiakan Nabi Adam A.S...

utk apa semua itu? Allah S.W.T Tuhan Yang Maha Mengetahui..

maka..cinta itu sememngnya ada di dalam setiap hati manusia..

tetapi cinta yang bagaimana? adakah cinta yang kalah dgn nafsu? atau cinta yang menang dgn Iman fillah?

insya Allah...mujahadahlah hati, semaikan hati dgn cinta Ilahi, insya Allah..cinta hakiki akan diperolehi..amin ya rabbi..

wallahua'lam..











tahukah kalian semua bahwa syaitan itu licik,syaitan bleh tipu kita dgn bnda yg zahirnye nmpak je btul tpi sbenarnyee slah:

spt contoh:

'COUPLE ISLAMIC'
penah dgr x???kononnye kwan sbb nk share ilmu n x dating2 pun...,Astaghfirullah,nmpak cam x slah kannnn...tpi itulah sbenarnye taktik syaitan licikyg menyesatkn,
thu x nape couple islamic nie x bleh,sbb org yg dh couple,scara automatik akn meluahkn perasaan masing2...btul x???tpi x kawin2,dan itulah yg dpanggil zina hati...wallahua'lam














Mengenal Kelompok Ahmadiyah

JAI (Jemaat Ahmadiyah —Qadyan— Indonesia) dan GAI (Gerakan Ahmadiyah —Lahore— Indonesia); mereka sama-sama mengimani Tadzkirah (kitab suci Ahmadiyah, yang disebut kumpulan wahyu muqoddas —suci— yang diyakini sebagai wahyu dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad).

Padahal inti kesesatannya yang sampai mereka dihukumi kafir, karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu kemudian dikumpulkan dalam bentuk kumpulan wahyu yang dinamai Tadzkirah itu.

Segala kesesatan sampai Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan Rasul, bahkan mengaku kedudukannya sebagai anak Allah, atau bahkan MGA itu dari Allah, dan Allah itu dari MGA; semuanya ada di Tadzkirah, dan diyakini oleh Ahmadiyah Qadyan maupun Lahore. Itu adalah kemusyrikan yang nyata.

Ahmadiyah Lahore tidak mau menerima pemahaman bahwa kekhalifahan hanya dipegang oleh anak cucu Mirza Ghulam Ahmad. Maka sejak matinya Nuruddin Bairawi, Ahmadiyah pecah jadi dua, Qadyan dan Lahore. Basyiruddin memimpin JA (Jemaat Ahmadiyah) Qadyan sebagai Khalifah yang kedua menggantikan Nuruddin, sedang Muhammad Ali memimpin AL (Ahmadiyah Lahore).

Dari Basyiruddin dan selanjutnya seakan kekhalifahannya itu adalah kerajaan. Itulah perbedaannya antara Ahmadiyah Qadyan dan Lahore. Sebenarnya sama, hanya beda hal-hal yang seperti tersebut.

Keputusan Muktamar II Mujamma’ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqih Islam) di Jeddah, Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah, antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath'i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

إِنَّ مَاادَّعَاهُ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَد مِنَ النُّبُوَّةِ وّالرِّسَالَةِ وَنُزُوْلِ الْوَحْيِ عَلَيْهِ إِنْكَارٌ صَرِيْحٌ لِمَا ثَبَتَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ ثُبُوْتًا قَطْعِيًّا يَقِيْنِيًّا مِنْ خَتْمِ الرِّسَالَةِ وَالنُّبُوَّةِ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ لاَيَنْزِلُ وَحْيٌ عَلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ، وَهذِهِ الدَّعْوَى مِنْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ تَجْعَلُهُ وَسَائِرَ مَنْ يُوَافِقُوْنَهُ عَلَيْهَا مُرْتَدِّيْنَ خَارِجِيْنَ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، وَأَمَّا الَّلاهُوْرِيَّةُ فَإِنَّهُمْ كَالْقَادِيَانِيَّةِ فِي الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ بِالرِّدَّةِ، بِالرَّغْمِ مِنْ وَصْفِهِمْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ بِأَنَّهُ ظِلٌّ وِبُرُوْزٌ لِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.

"Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath'i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW". (Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami —Akademi Fiqih Islam— Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi' al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M).

Beda Ahmadiyah Qadyan, Ahmadiyah Lahore, dan Islam
Menurut penelitian M Amin Djamaluddin ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam mengenai Ahmadiyah di Indonesia sebagai berikut:

Dari segi keorganisasian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki dua kelompok yang berbeda dengan keyakinan (aqidah) yang berbeda pula. Pertama, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, kelompok ini biasa disebut dengan Ahmadiyah Qadiyan. Kedua, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, biasa disebut Ahmadiyah Lahore.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang nabi dan rasul.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu.

3. Wahyu-wahyu tersebut diturunkan kepada Nabi Mirza Ghulam Ahmad di India.

4. Menurut buku putih mereka, wahyu-wahyu tersebut ditulis Nabi Mirza dan terpencar dalam delapan puluh enam buku (Buku Putih, Kami Orang Islam, PB JAI, 1983, hal. 140-141).

5. Wahyu-wahyu yang terpencar itu kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku bernama: Tadzkirah ya’ni wahyul muqoddas (Tadzkirah adalah: kumpulan wahyu-wahyu suci/sebuah kitab suci yaitu kitab suci Tadzkirah).

6. Mereka mempunyai kapling kuburan surga di Qadiyan (tempat kuburan nabi Mirza). Kelompok ini menjual sertifikat kuburan surga tersebut kepada jama’ahnya dengan mematok harga yang sangat mahal. (copian sertifikat kuburan surga di Rabwah, dari buku Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiyani, Rabithah Alam Islami, Makkah Mukarramah, 1408H/1988M, hal, 64-65).

7. Qadiyan dan Rabwah bagi mereka adalah sebagai tempat suci.

Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang mujaddid (pembaharu) Islam.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s muhaddats (orang yang berbicara dengan Allah secara langsung).

3. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu. Adapun wahyu yang diterima Mirza merupakan potongan-potongan dari ayat Al Qur’an. Penurunan ayat yang sepotong-sepotong itu bukan berarti membajak ayat Al Qur’an. Menurut keyakinan mereka “Itu bukan urusan Mirza Ghulam Ahmad, tetapi urusan Allah”. (PB GAI, Agustus 2002, hal. 13).

4. Seluruh wahyu-wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad itu adalah betul-betul wahyu yang datang dari Allah SWT.

Ahmadiyah berbeda jauh dengan Islam

Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhoi-Nya, bukan pendapat manusia, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.

http://artikelassunnah.blogspot.com/2011/02/mengenal-kelompok-ahmadiyah.html



'Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu,
maka jadikanlah ia musuh(mu),
karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala'.

Surah Al-Fathir
Ayat 6





insya Allah..sesungguhnya pernikahan itu adalah amal ibadah yang halal..maka, mengapa memilih perbuatan yang haram dan mendekatkan diri kepada kemungkaran Allah S.W.T? astaghfirullah..nauzubillah..


seringkali kita kedengaran..


"kalau tak leh keluar berduaan, tak pe, aku bawalah adik ke, kawan ke sebagai teman"..


astaghfirullah..


sebenarnya..setiap niat yg baik tidak menghalalkan cara tersebut..apakah kita pasti syaitan laknatullah itu tidak dapat "menyerang" kita ketika adanya orang ketiga yang zahir? jawabnya TIDAK..


mengikut ilmu tassawuf..hasutan Syaitan laknatullah terbahagi kepada beberapa peringkat..


ringkasnya..


jika seseorang itu berstatuskan "orang awam", maka mungkin hanya "askar biasa" syaitan yang datang "menyerang"..


jika seseorang itu berstatuskan "ulama'", maka mungkin "Panglima" Syaitan yg datang "menyerang"..


itu ringkasnya..maka, samalah kita mantapkan Iman fillah..jauhilah perkara yang mendatangkan kemungkaran Allah S.W.T, kerana itu yang akan menghalang hati utk mengenali Nur Iman..insya Allah, dekatilah perkara yang mendatangkan keredhaan Allah S.W.T..amin..













''Jangan Bersedih''.Itulah ungkapan yg perlu kita lontarkan dlm jiwa tatkala kita dilanda masalah,ditimpa kemalangan atau kehilangan org tersyg,.Tatkala kita merasakan kita kehilangan segala-galanya,ingatlah sebenarnya kita masih ada ALLAH,Tuhan yg menciptakan kita..Bahagiakanlah dirimu ;)
-Solusi ISU 25-




Kalau orang kata:


Allah makan tapi xsama dengan makan makhluk,


Allah tidur tapi xsama dengan tidur makhluk,
...
Allah bergerak tapi xsama dengan bergerak makhluk,


Allah bertempat tetapi tidak sama dengan tempat makhluk,


Allah duduk tapi xsama dengan duduk makhluk,


Allah lapar tapi xsama dengan lapar makhluk,


MAKA ORANG YANG BERKATA DEMIKIAN KUFUR SEBAB DIA TELAH MENYANDARKAN SIFAT YANG TIDAK LAYAK KEPADA ALLAH...


begitu juga orang yang mengatakan Allah berjisim tetapi tidak sama dengan jisim makhluk, maka ia telah Kafir kerana DIA TELAH MENYANDARKAN PERKARA YANG TIDAK LAYAK KEPADA ALLAH KERANA JISIM TIDAK ADA MAKNA LAIN MELAINKAN IA ADALAH MAKHLUK YANG DIJADIKAN OLEH ALLAH, maka Allah tidak menyerupai makhluk yang DIA cipta...maka sesiapa yang mengatakan Allah berjisim tetapi tidak sama dengan jisim makahluk, maka ia telah KAFIR...


SEBAGAIMANA YANG TELAH DIKATAKAN OLEH AL-IMAM AL-QURTUBI PERKATAAN ORANG YANG MENGATAKAN ALLAH BERJISIM TETAPI TIDAK SAMA DENGAN JISIM, MAKA IA TIDAK BOLEH DITERIMA OLEH AKAL SAMA SEKALI sebab perkataan itu bertentang antara satu sama lain yakni jisim tetapi tidak sama dengan jisim...na`uzubillah min zalik...


Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin al-Anshari al-Qurtubi radiyallahu`anhu (W. 671 H), pengarang sebuah Tafsir besar bernama “Al-Jami` Li Ahkam al-Quran” (20 jilid), berkata :
"فَإِنَّ قَوْلَهُمْ جِسْمٌ أَوْنُوْرٌ حُكْمٌ عَلَيْهِ بِحَقِيْقَةِ ذَلِكَ وَقَوْلَهُمْ لاكَالأَنْوَارِ وَلاكَالأَجْسَامِ نَفْيٌ لِمَا أَثْبَتُوْهُ مِنَ الْجِسْمِيَّةِ وَالنُّوْرِ وَذَلِكَ مُتَنَاِقضٌ".
Maksudnya:


"Maka bahawasanya perkataan mereka “Tuhan bertubuh atau Tuhan adalah Cahaya” (menetapkan bahawa Tuhan bertubuh atau bercahaya), tetapi perkataan mereka mengatakan “tidak serupa tubuh” dan “tidak serupa cahaya” menafikan apa yang telah ditetapkan oleh mereka tersebut (Allah berjisim dan Allah adalah cahaya), maka yang demikian itu (menyatakan Allah berjisim dan Allah adalah cahaya tetapi tidak serupa dengan jisim atau tidak serupa dengan cahaya) adalah SALING BERTENTANGAN."


Al-Imam Abu Abdillah Muhammadi bin Al-Anshari al-Qurtubi(t.t), Al-Jami` Li Ahkam al-Quran, (t.tp): (t.p), juz XII, h. 256



KENAPA SIFAT 20 DAN KENAPA WAJIB BELAJAR SIFAT 20???






by Al-Asyairah Al-Syafii on Wednesday, February 2, 2011 at 12:16pm










MENGAPA SIFAT ALLAH ADA DUA PULUH?


Kadang kala ada pertanyaan, “Mengapa sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf hanya dua puluh sifat? Bukankah sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna ada Sembilan puluh Sembilan?”.


“Perlu diketahui bahawa Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah tidak membataskan sifat-sifat Allah kepada dua puluh kerana sifat dua puluh itu adalah sifat Dzat Allah yang menjadi syarat ketuhanan (syart al-Uluhiyyah). Sedangkan sifat-sifat Allah yang lain adalah sifat af`al (sifat yang berkaitan perbuatan) Allah ta`ala. Dan sifat-sifat af`al Allah itu jumlahnya banyak serta tidak terbatas.”[1]


MENGAPA WAJIB MENGETAHUI SIFAT 20???


Dalam ma`rifatullah, Mazhab Ahl al-Sunah Wa al-Jama`ah telah mengetengahkan pemahaman terhadap konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat masyhur dan wajib diketahui oleh setiap individu muslim yang mukallaf. Akhir-akhir ini terdapat satu golongan yang dikenali sebagai Wahhabi telah mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan mengemukakan beberapa alasan yang antara lainnya adalah; tidak terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadis nas yang mewajibkan pengethuan umat Islam terhadap sifat 20. Bahkan termaktub di dalam hadis sendiri bahawa nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna) jumlahnya sembilan puluh sembilan. Dari premis ini, timbul sebuah pertanyaan; mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya terhad kepada dua puluh sifat sahaja, bukan sembilan puluh sembilan sebagaimana yang terdapat di dalam al-Asma’ al-Husna?


Para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dalam menetapkan sifat dua puluh tersebut sebenarnya bersumberkan daripada kajian dan penelitian yang cermat dan mendalam. Terdapat beberapa alasan ilmiah yang logik serta relevan dengan fakta nas yang sedia ada yang telah dikemukakan oleh para ulama’ berhubung latar belakang wajibnya mengetahui sifat dua puluh yang wajib bagi Allahsubhanahu wata`ala, antaranya ialah:


Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahawa Allah ta`ala wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Mereka harus meyakini bahawa mustahil Allah ta`ala memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Mereka juga harus meyakini pula bahawa Allah berkuasa melakukan atau meninggalkan penciptaan segala sesuatu yang bersifat mumkin iaitu seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rezki, mengurniakan kebahagiaan , menimpakan kecelakaan dan lain-lain lagi. Kesemua ini adalah sekian bentuk keyakinan yang paling dasar yang perlu wujud di dalam hati setiap orang Islam.


Kedua, para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah sebenarnya tidak membataskan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada 20 sifat sahaja. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah pasti Allah wajib memiliki sekian sifat tersebut, sehingga sifat-sifat kamalat(kesempurnaan dan keagungan) Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan sahaja sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Imam al-Hafiz al-Bayhaqi:[2]


"وَقَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ لِلَّهِ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا)) لايَنْفِيْ غَيْرَهَا, وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَ تِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ".


Maksudnya:
“Sabda Nabi sallallahu`alaihi wasallam : Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama”, tanpa menafikan nama-nama selainnya. Nabi sallallahu`alaihi wasallam hanya bermaksud -wallahu a`lam-, bahawa barangsiapa yang menghitung sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk syurga”.


Pernyataan al-Hafiz al-Bayhaqi di atas bahawa nama-nama Allah ta`ala sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah sembilan puluh sembilan dengan didasarkan pada hadith shahih: [3]


"عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ ".


Maksudnya:
"Ibn Mas’ud berkata, Rasulallah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:” Ya Allah, sesungguhnya aku Hamba-Mu.. Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik yang Engkau namakan Dhat-Mu dengan-Nya, atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkannya kepada sesiapa di kalangan makhluk-Mu, atau yang hanya Engkau sahaja yang Mengetahui-Nya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, jadikanlah al-Quran sebagai taman/pengubat hatiku, cahaya mataku, penghilang kesedihanku dan penghapus rasa gundahku".


Hadis di atas menjelaskan bahawa di antara nama-nama Allah ta`ala yang telah dijelaskan di dalam al-Qur’an, ada di antaranya yang diketahui oleh sebahagian hamba-Nya dan ada yang hanya diketahui oleh Allah ta`ala sahaja. Sehingga berdasarkan kepada hadis tersebut, nama-nama Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99, maka apatah lagi 20 sifat yang telah dirumuskan oleh para ulama’ yang melaut ilmu mereka itu.


Ketiga, para ulama’ telah membahagikan sifat-sifat khabariyyah, iaitu sifat-sifat Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis seperti yang terdapat di dalam al-Asma’ al-Husna, kepada dua bahagian. Pertama, Sifat al-Af`al al-Zat iaitu sifat-sifat yang ada pada Zat Allah ta`ala, yang antara lain adalah sifat 20. Dan kedua, Sifat al-Af`al, iaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah ta`ala, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu`thi, al-Mani`, al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliqdan lain-lain. Perbezaan antara keduanya adalah, sifat al-Zat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syart al-Uluhiyyah, iaitu syarat mutlak ketuhanan Allah ta`ala. Kesemua sifat tersebut telah menyucikan zat Allah ta`ala daripada sebarang sifat yang tidak layak bahkan mustahil untuk disandarkan kepada zat Allah yang Maha Agung. Dari sini para ulama’ telah mentapkan bahawa Sifat al-Zat ini adalah azali (tidak ada permulaan), dan baqa’ (tidak ada pengakhiran bagi Allah). Hal tersebut berbeza dengan Sifat al-Af`al, ketika Allah ta`ala memiliki salah satu daripadaSifat al-Af`al, maka lawan kepada sifat tersebut adalah tidak mustahil bagi zat Allah ta`ala, bahkan ia menunjukkan lagi perihal kehebatan dan keagungan Allah kerana mampu menciptakan dua perkara yang berlawanan berdasarkan fungsi yang terkandung di dalam nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah ta`ala kepada zat-Nya yang Maha Agung seperti; sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan), al-Mumit (Maha mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) danal-Nafi` (Maha Memberi Manfaat), al-Mu`thi (Maha Pemberi) dan al-Mani` (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu, para ulama’ mengatakan bahawa Sifat al-Af`al itu adalah baqa’.[4]


Keempat, dari sekian banyak Sifat al-Zat yang wujud tersebut, maka sifat dua puluh dianggap cukup dalam memberi kefahaman kepada kita bahawa Allah ta`alamemiliki segala sifat kesempurnaan dan maha suci Allah daripada segala sifat kekurangan. Di samping itu, kesemua Sifat al-Zat yang telah terangkum dalam sifat dua puluh tersebut, dari sudut fakta, telahpun ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan dalil-dalil aqli.[5]


Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup kuat untuk menjadi benteng kepada akidah seseorang daripada terpengaruh dengan faham yang keliru atau menyeleweng dalam memahami sifat Allah ta`ala. Sebagaimana yang telah kita maklum aliran-aliran yang menyimpang daripada fahaman Ahl al-Sunah Wa al-Jama`ah seperti Wahhabi, Muktazilah, Musyabbihah, Mujassimah, Karramiyyah dan lain-lain telah menyifatkan Allah ta`ala dengan sifat-sifat makhluk yang kesemua sifat tersebut dilihat dapat meruntuhkan kesempurnaan dan kesucian zat Allah ta`ala. Maka dengan memahami sifat dua puluh tersebut, iman seseorang akan dibentengi daripada keyakinan-keyakinan yang menyongsang fahaman arus perdana umat Islam berhubung zat Allah ta`ala. Misalnya, ketika golongan mujassimah mengatakan bahawa Allah ta`ala itu duduk di atas `Arasy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu daripada sifat Salbiyyah yang wajib bagi zat Allah ta`ala iaitu; Qiamuhu Binafsih (Allah ta`ala tidak berhajat kepada sesuatu), ketika musyabbihah mengatakan bahawa Allah ta`ala memiliki anggota tubuh badan seperti mata, tangan, kaki, muka, betis dan lain-lain, maka dakwaan tersebut akan ditolak pula dengan sifat wajib bagi Allah ta`ala yang lain iaitu sifatMukhalaftuhu lilhawadith (Allah tidak menyerupai sesuatupun), ketika golongan Muktazilah menafikan kewujudan sifat ma`ani pada zat Allah ta`ala dengan mengatakan bahawa Allah ta`ala maha kuasa tetapi tidak mempunyai sifatqudrat, maha mengetahui tetapi tidak mempunyai ilmu, maha berkehendak tetapi tidak mempunyai iradat, maka dakwaan songsang tersebut akan ditolak dengan sifat-sifat ma`ani yang jumlahnya adalah tujuh iaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama`, basar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.[6]


الْقَائِدَةُ: "الْجَهْلُ بِالصِّفَاتِ يُؤَدِّيْ إِلَى الْجَهْلِ بِالْمَوْصُوْفِ مَنْ لا يَعْرِفُ صِفَاتِ الله لا يَعْرِفُ الله".


Kaedah: “Jahil tentang sifat (Allah) membawa kepada jahil dengan yang mempunyai sifat (Allah), sesiapa yang tidak mengenal sifat Allah, tidak mengenal Allah ta`ala”.




[1] KH. Muhyiddin Abd al-Somad (2009), Aqidah Ahlussunnah Wal Jama`ah Terjemah dan Syarh Aqidah al-Awam, Jakarta: Khalista Surabaya, h. 25.


[2] Al-Hafiz al-Bayhaqi (1959), al-I`tiqad `ala Mazhab al-Salaf Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, Abu al-Fadhl Abdullah Muhammad al-Siddiq al-Ghumari (ed.), Kaherah: Dar al-`Abd al-Jadid, , h. 14.


[3] Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3528), al-Hakim di dalam al-Mustadrak(1830) dan al-Tabarani di dalam al-Mu`jam al-Kabir (10198). Al-Hafiz Ibn Hibban menilainya sahih di dalam Sahih-nya (977).


[4] Al-Hafiz al-Bayhaqi(1959), op.cit., h. 15, 21 dan 22; Abu Mansur Abdul Qahir al-Baghdadi (1981), Usul al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, h. 122-125. Dari sini dapat kita fahami bahawa pernyataan sebagian kalangan beberapa tahun yang lalu, bahawa untuk saat ini sifat Rahmah Allah ta`ala adalah lebih layak ditekankan untuk diketahui daripada sifat-sifat yang lain, adalah tidak ada asasnya. Ini adalah bertitik tolak daripada ketidakfahaman mereka terhadap sifat al-Zat yang menjadi Syart al-Uluhiyyah dan Sifat al-Af`al yang bukan Syart al-Uluhiyyah.


[5] Hasan al-Ayyub (2003), Tabsit al-`Aqaid al-Islamiyyah, Kaherah: Dar al-Salam, h. 17.








[6] Lihat pernyataan Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali tentang tujuan mempelajari ilmu kalam menerusi kitabnya al-Munqidz min al-Dhalal, lihat al-Ghazzali (1998), al-Munqidz min al-Dhalal, Abdul Halim Mahmud (ed.), Kaherah: Dar al-Ma`arif, h.








قَالَت : كَانَ رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يقوم من اللَّيْل حَتَّى تتفطر قدماه،
فَقلت : لم تصنع هَذَا يَا رَسُول الله ،
وَقد غفر لَك مَا تقدم من ذَنْبك ، وَمَا تَأَخّر
قَالَ : " أَفلا أكون عبدا شكُورًا
Daripada Aishah R.A,telah berkata : Rasulullah SAW (dahulunya) sentiasa bangun sebahagian dari malam (qiamullail) sehingga kedua tapak kakinya pecah-pecah (akibat terlalu lama berdiri)
Maka aku (Aishah) bertanya: Kenapakah Kamu lakukan sedemikian Ya Rasulallah,
sedangkan DIA (Allah) telah mengampunkanmu apa yang telah berlalu dan apa yang akan berlaku daripada dosa kamu?
Nabi SAW bersabda: Adakah salah aku menjadi seorg hamba yg banyak & sentiasa bersyukur.
(HSR Bukhari #4837, Muslim #2189, Musnad Ahmad #6/115)





( Salamun-Salamun Kamiskil Khitam )

سَلاَمٌ سلام كَمِسْكِ الْخِتَامِ
Salam dan salam sebagai penutup yang baik

عَلَيْكُمْ أُحَيْبَابَنَا ياكِرَام
-kekasihku yang mulia Atasmu

ومَنْ ذِكْرُهُمْ أُنْسُنَا فِي الظَّلاَم
Dengan mengingat mereka terdapat ketenteraman

ونُوْرٌ لَنَا بَيْنَ هذا الأَنَام
Dan cahaya bagi kami di antara manusia sejagat

سَكَنْتُمْ فُؤَادِيْ وربِّ العِبَاد
Demi Allah! Engkau bertempat dalam hatiku

وأَنْتُمْ مَرَامِي وأَقْصَى الْمُرَاد
sekelian adalah maksud dan tujuanku Kamu

فَهَلْ تُسْعِدُونِي بِصَفْوِ الْوِدَاد
Tidakkah kau berikan padaku cinta yang suci

وهَلْ تَمْنَحُوْنِي شَرِيْفَ الْمَقَام
yang mulia Dan tidakkah kau berikan padaku kedudukan

أنَا عَبْدُكُمْ يا أُهَيْلَ الْوَفَا
Aku adalah pembantumu wahai orang-orang yang mulia

وفِي قُرْبِكُمْ مَرْهَمِي والشِّفَا
Dekat denganmu adalah ubat dan kesembuhan bagiku

فلاَ تُسْقِمُوْنِي بِطُوْلِي الْجَفَا
Maka janganlah kau sakiti aku dengan berjauhan dariku

ومُنُّوْا بِوَصْلٍ ولَوْ فِي الْمَنَام
dalam mimpiku Dekatkanlah aku denganmu walau hanya

أَمُوْتُ وأَحْيَا عَلَى حُبِّكُم
mencintaimu Aku mati dan hidup dalam keadaan

وذُلِّي لَدَيْكُمْ وعِزِّي بِكُمْ
, dan bersamamu aku mulia Aku merasa hina dihadapanmu

ورَاحَاتُ رُوْحِي رَجَا قُرْبِكُمْ
Ketenteraman jiwaku adalah berharap untuk dekat dengamu

وعَزْمِي وقَصْدِيْ إِلَيْكُمْ دَوَام
Azam dan tujuanku sentiasa padamu

فَلاَ عِشْتُ إِنْ كانَ قَلْبِي سَكَنْ
Aku tak akan hidup senang jika hatiku tenteram

إلَى الْبُعْدِ عَنْ أَهْلِهِ والْوَطَن
-orang yang bersih hati dan tanah air mereka Dengan berjauhan dari orang

ومَنْ حُبُّهُمْ فِي الْحَشَا قدْ قَطَن
lubuk hatiku orang yang bertempat dalam Atau jauh dari orang-

وخَامَرَ مِنِّي جَمِيْعَ الِْعظَام
Dan telah bercampur dengan seluruh badanku

إِذَا مَرَّ بِالْقَلْبِ ذِكْرُ الْحَبِيْب
Bila hati terdengar nama orang yang dikasihi

ووَادِي الْعَقِيْقِ وذَاكَ الْكَثِيْب
Dan lembah ‘Aqiq (satu lembah di Madinah) serta negeri itu

يَمِيْلُ كَمَيْلِ الْقَضِيْبِ الرَّطِيْب
Hatiku akan bergerak (kerana senang) sebagaimana dahan pokok yang bergoyang

ويَهْتَزُّ مِنْ شَوْقِهِ والْغَرَام
Dan akan bergetar kerana rindu dan cinta

لإِنْ كَانَ هَذَا فَيَا غُرْبَتِي
, aku akan merasa terasing Kalaulah aku berjauhan darimu

ويَا طُوْلَ حُزْنِي ويَا كُرْبَتِي
Alangkah sedih dan merananya aku

وَلِيْ حُسْنُ ظَنٍّ بِهِ قُرْبَتِي
, dari itu aku dapat mendekatimu Aku memiliki prasangka baik

بِذُلِّي وحَسْبِيْ بِهِ يَا غُلاَم
Dengan aku merendah dan mengharap wahai tuan

عَسَى اللهُ يَشْفِي غَلِيْلَ الصُّدُوْر
Semoga Allah mengubati hati yang sakit

بِوَصْلِ الْحَبَائِبْ وَفَكِّ الْقُيُوْد
juga dengan melepaskan ikatan Dengan berdekatan dengan para kekasih,

فَرَبِّي رَحِيْمٌ كَرِيْمٌ وَدُوْد
, , Pemberi kasih sayang Pemurah Sungguh Allah Maha Pengasih

يَجُوْدُ عَلَى مَنْ يَشَا بِالْمَرَام
-Nya Yang memberi kepada siapa yang di kehendaki








penjelasan makna 'ISTAWA' - (ayat mutasyabih)
by Pangeran Sejati on Tuesday, February 8, 2011 at 11:23am
Lafaz 'ISTAWA' ini adalah termasuk dlm ayat yg mutasyabih ...
Maka para ulama yg m'punyai keahlian dlm ilmu tafsir samada dari kalangan ulama salaf atau khalaf telah ijma' m'muzakarahkan ayat mutasyabih ini dan membahasnya mjadi dua metode:

tafwidh, maksudnya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai zahir lafaznya akan merusak aqidah.Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunakan metode ini.
dengan cara mentakwil ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)..


Ada segolongan orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti(jahil) bagaimana mentakwil dan mereka juga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang datang dari para salaf..contohnya ibn Abbas ra(sahabat dan sepupu Rasulullah saw) sendiri telah mentakwilkan lafaz 'istawa' ini dengan makna 'irtafa'a(tinggi martabat) di ambil dari wazan rafu'a-yarfu'u- rif'atan...

Tersebut dalam kitab tafsir Bughawi:
" [ 'an ibni 'Abbas r'anhu wa aksiril mufassiriina (ISTAWA) ai: IRTAFA'A, wa qoola bihi Abu Ubaid wal Farraa'u....]artinya..daripada ibni Abbaas r'anhuma dan kebanyakan ulama tafsir (ISTAWA) TERTINGGI ,berkata dengan ia oleh Abu Ubaid dan al-Farra'...

---[wa qad 'alimta annassalafasshaaleh wa 'ala ra'sihim ,habru haadzihil ummati Abdullahi bni Abbaasi r'anhuma qad awwala katsiiran minas sifaati, wa huwa ahaqqu bi ta'wiili min kaafatil ummati likhtishasi bihi bi fadhli du'aa 'ir rasulillaahi saw lahu bi ta'wiili bi qawlihi

"Allaahumma 'allimhul hikmata,Allaahumma faqqihhu fiddiini , wa allimhut ta'wiila"...]...

artinya : dan sungguh telah engkau tahu bahwasnya salafussaleh dan atas ketua mereka itu ialah yang ter'alim pada ummat ini yakni Abdullah ibn Abbas r'anhuma ,sungguh telah menta'wil ia pada kebanyakan dari sifat-sifat Allah ta'ala dan itulah yang paling benar bagi sekalian ummat karna telah dikhususkan dengan doa Rasulullah saw kepadanya dengan takwil..
" Ya Allah alimkanlah dia akan ilmu hikmah,Ya Allah fahamkan dia akan ilmu agama dan ajarkan dia akan ilmu takwil "

---[wa bidza yu'lamu annat ta'wiila laisa mazmuuman , iz lau kaana kazaalik lamaa da'ar Rasuulu 'alaihis shalaatu was salaamu l'ibni 'ammihi bihi]...artinya : dan dengan ini diketahui akan dia bahwasanya takwil ini tiada dicela (dilarang) karna kalau ia dilarang nescaya tidaklah Rasulullah saw mendoakan dia sedang beliau adalah anak bapa saudaranya....
Jadi jelasnya..as-Salafus-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -ra- (227- 321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk ...kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

Dan lagi Imam Malik ra berkata : laa yuqaalu 'anhu kaifa ,wa kaifa 'anhu marfuu'un (tidak boleh ditanya 'bagaimana Allah beristiwa' dan Allah bebas dari soalan 'bagaimana')..bagaimana adalah soalan bagi sifat makhluq.antaranya duduk,menetap,bertempat dan berarah.
Imam Qusyairi ra berkata : istawa bermakna Allah memelihara, gagah berkuasa dan mengekalkan. haram meng'tiqad Allah swt duduk di atas arasy kerana ini adalah kepercayaan agama yahudi dan mendustakan firman Allah swt : Fa laa tadhribuu lillahil amsaal(annahlu :74) artinya :oleh itu janganlah kamu mengadakan sesuatu yg sebanding dengan Allah swt.
berkata Sayyiduna Ali ra : innallaha khalaqal arsya izhaaran liqudratihi, wa lam yattakhizhu makaanan lizaatihi (sesungguhnya Allah swt menciptakan arasy untuk menzahirkan qudratNya dan Allah swt tidak menjadikan arasy sebagai tempat bagi zatNya)..mahasuci Allah dari semua itu...

Ada segolongan orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dalam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy ,mereka mengatakan tidak boleh... ayat tentang keberadaan Allah di arsy ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di arsy dengan penjelasan bahwa arsy adalah makhluq terbesar(luas dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakan bahawa Allah swt berada di atas Arsy yg besar itu di tempat yang dinamakan makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran) dan takwil ahlul bid'ah(dholalah).

Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan arsy,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapun ahli ta’wil mengatakan Allah ta'ala menguasai Arsy dan tidaklah salah karena memang Allah swt dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesarNya(arsy), sebab memang Allah swt Maha kuasa terhadap segala sesuatu..wallahu 'alamu bi haqiqati...








koleksi pandangan ulamak kontemporari tentang pengunaan al-Julus:

Syeikh Abd Rahman Naasir al Barak:

www.islamlight.net/ind...p;id=18527

ولم يذكر لفظ الجلوس ، ولكن أهل السنة لا ينكرون ذلك بل المبتدعة هم الذين ينكرونه...وقد جاءت آثار فيها ذكر القعود ، والجلوس ، وذكرها الأئمة في كتب السنة بمعرض الرد على نفاة العلو ، والاستواء كالأثر الذي جاء عن مجاهد في تفسير المقام المحمود : بإقعاد النبي صلى الله عليه وسلم على العرش

Tidak disebut dgn lafaz al Julus (al salaf tidak memberi makna Istiwa dengannya); akan tetapi ahl Sunnah tidak meningkarinya bahkan yg mengingkarinya ialah golongan bid'ah....Sabit dari athar dimana disebut dengan lafaz al-Qu'ud dan al Julus. Para aimmah menyebutnya dlm kitab-kitab al sunnah menjawab/menepis penafian sifat al 'Uluw dan Istiwa sepertimana athar yg warid dari Mujahid tentang tafsir maqam mahmudah: qu'ud (duduk) Nabi صلى الله عليه وسلم di atas arash.




Firman Allah yang ;


قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ


“(Allah) berfirman wahai iblis apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kekuasan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?” (Terjemahan mengikut Al-Quran dan terjemahan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) terbitan Dar Al-Iman Pustakan Darul Iman Sdn Bhd)


1) Perlu difahami ini merupakan ayat mutasyabihah. Ayat-ayat al-quran yang ada persamaan Allah dengan makhluk dikira sebagai ayat yang mutasyabihah.


2) Mengikut manhaj khalaf : ia perlu ditakwil kepada makna yang sesuai pada bahasa arab supaya tidak terkeliru sehingga menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk.


3) Mengikut manhaj salaf sebenar : menyerahkan makna “yadun” kepada Allah tanpa menterjemahkan kepada makna tangan atau menakwil kepada makna yang layak bagi Allah dan dalam masa yang sama menafikan Allah Ta’ala sama dengan makhluk.


4) Mengikut manhaj salafiyyah wahabiyyah aka salafi jadian, golongan mujassimah, hasyawiyyah dan kitabiyyah : “yadun” dengan makna tangan tetapi tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Ini pandangan yang sesat lagi menyesatkan kerana apabila diisbatkan kepada Allah sifat tangan walaupun kita katakan ia tidak sama dengan makhluk sebenarnya kita telah menjisimkan Allah. Seumpama kita katakan “sampah berbau wangi”. Bila kita sebut sampah maka sudah jelas ia berbau busuk walaupun kita sifatkan ia berbau wangi. Bila kita kata tangan Allah sebenarnya kita telah menjisimkan Allah Ta’ala walaupun kita katakan tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk.


5) Mahasuci Allah daripada sama dengan makhluk samada bertangan, duduk, naik turun dan sebagainya daripada sifat makhluk. Firman Allah Ta’ala;


ليس كمثله شيء


“ Tidak ada yang seumpama denganNya (Allah) sesuatupun”


6) Kenapa Allah Ta’ala menyebut dengan dua tanganNya? Untuk memuliakan Adam. Kata ulama’: أضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له


“Allah menyandarkan ciptaanNya kepada diriNya sebagai memuliakan baginya”


Kerana ayat ini ditujukan kepada iblis yang enggan sujud kepada Adam dengan pertanyaan apa yang menegah kamu (iblis) untuk sujud kepada apa yang aku jadikan dengan zat aku bukan dengan perantaraan ayah dan ibu kerana Adam dijadikan tanpa ayah dan ibu seperti yang kita sudah maklum. Perumpamaan dengan menggunakan dua tangan lebih hebat daripada satu tangan kerana telah maklum kepada kita sesuatu kerja yang besar tidak dilakukan dengan sebelah tangan. Ini kefahaman yang disebut oleh Imam Zamakhsyari di dalam kitab Al-Kassyaf dalam menjelaskan maksud dua tangan. Berkata sebahagian ulama’ ;


لما خلقت بيدي : لما خلقت بغير واسطة


“Bagi apa yang Aku jadikan dengan dua tangan Aku bermaksud bagi apa yang aku jadikan tanpa perantaraan”


7) Mengikut tafsir jalalain oleh dua Imam besar Al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Imam Al-‘Allamah Jalaluddin As-Suyuti menyebut dalam mentafsir ayat di atas;


أي توليت خلقه أي من غير واسطة أبي وأمي وهذا تشريف لآدم فإن كل مخلوق تولى الله خلقه


“Ialah Aku (Allah) meguasai kejadiannya (Adam) ialah tanpa perantaraan ayah dan ibu dan ini memuliakan bagi Adam. Sesungguhnya setiap makhluk Allah Ta’ala menguasai ciptaaNya”


8) Di dalam At-Tafsir Al-munir oleh Dr Wahbah Zuhaili : Aku menjadikannya (Adam) sendiri tanpa perantaraan Ayah dan Ibu dan Al-Yad bermaksud Al-Qudrah (kuasa Allah bukan tangan dengan maksud anggota) Juz :23-24 mukasurat : 229 Cetakan : Darul Fikr, Syiria.


9) Perkataan “yadun” yang bermaksud tangan di dalam bahasa melayu merupakan majaz ( perkataan yang dipinjam bukan dengan makna asal atau hakiki) di dalam pengajian ilmu balaghah bahasa arab.


Sebagai contoh di dalam bahasa melayu kita juga ada menggunkan simpulan bahasa seperti “Abu seorang yang panjang tangan” Apakah ia bermaksud tangan Abu benar-benar panjang atau ia simpulan bahasa untuk menyatakan Abu seorang pencuri? Sudah tentu jawapannya ialah untuk menunjukkan makna Abu seorang pencuri bukan bermaksud tangan dia benar-benar panjang.


Simpulan bahasa ini bukan merujuk kepada majaz di dalam bahasa arab kerana majaz itu seperti kita katakan bulan tersenyum atau ombak memeluk pantai tetapi simpulan ini untuk menunjukkan perkataan tangan di sini bukan bermaksud tangan yang hakiki seperti zahirnya.


Jika orang melayu tidak memahami simpulan bahasa ini, menunjukkan kejahilan dia terhadap bahasa melayu dan orang yang tidak memahami majaz ini menunjukkan kejahilan dia terhadap balaghah bahasa arab. Al-Quran merupakan kalamullah. Bahasanya disebut sebagai “ablagh” (balaghah yang paling tinggi) sehingga cabaran Allah Ta’ala kepada orang kafir untuk membuat satu surah seumpaman surah Al-Kauthar pun mereka tidak mampu. Apatah lagi kita orang melayu dalam memahami kalamullah ini.


Oleh sebab itu berkata Mujahid dalam mentafsirkan ayat ini;


قال مجاهد : اليد ها هنا بمعنى التأكد والصلة ، مجازه لما خلقت أنا كقوله : " ويبقى وجه ربك " [ الرحمن : 27 ] أي يبقى ربك


Tangan di sini dengan makna penguat dan kaitan. Majaznya ( perkataan yang dipinjam bukan dengan makna asal atau hakiki) bagi apa yang aku (Allah) jadikan. Seperti Firman Allah Ta’ala : Kekal wajah Tuhan kamu [ ar-rahman : 27 ] bermaksud kekal Tuhan kamu.


10) Berkata As-Shahrastani di dalam kitab Milal Wa Nihal:


إن الأئمة مالكا والشافعي وأحمد قالوا : من حرك يده عند قراءة قوله تعالى ( لما خلقت بيدي ) وأشار بإصبعه عند رواية قلب المؤمن بين أصابع الرحن… الحديث وجب قطع يده وقطع أصبعه


Sesungguhnya imam-imam, Malik, Syafie dan Ahmad berkata : Sesiapa yang menggerakkan tangannya ketika membaca firman Allah Ta'ala (ayat 75 surah mujadilah) dan mengisyaratkan jarinya ketika membaca riwayat "Hati manusia di antara jari-jari Allah"- Al-Hadis, wajib dipotong tangan dan jarinya. (Di naqalkan daripada kitab syarah jauharatul tauhid bagi Imam Al-Bajuri mukasurat 166).


11) Cuba lihat tafsiran sahabat seperti Ibnu Abbas yang di doakan oleh Nabi SAW “ Ya Allah, Faqihkan dia ( ibnu Abbas) di dalam agama dan ajarkan dia takwil” dan tafsiran Mujahid, Qatadah, At-Thauri dan lain-lain di dalam mentafsirkan ayat;


والسماء بنيانها بأيد


Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat : 237 )


Bagaimana untuk menolak pandangan yang mengatakan jika kita takwilkan “yadun” kepada makna kuasa bermaksud ada dua kuasa?


1) Tanya kembali kepada dia, Allah Ta’ala menjadikan Adam dengan dua tangan atau dengan kuasa Allah Ta’ala?


Jika dia tidak mahu menta’wil ayat ini kepada kuasa bermaksud dia menafikan sifat kuasa Allah untuk menjadikan Adam. Sedangkan kita faham bahawasanya setiap mumkinat ( perkara yang harus ada) itu ta’luq dengan sifat qudrat (kuasa) Allah. Dengan perkataan yang lain semua perkara yang dijadikan oleh Allah dengan sifat kuasa Allah Ta’ala bukan dengan tangan yang kita fahami. Jika kita katakan yadun dengan maksud tangan secara langsung kita telah menafikan kuasa Allah Ta’ala menjadikan dengan sifat kuasa. Sedangkan sifat kuasa merupakan sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala. Sesiapa yang menafikan Allah Ta’ala bersifat dengan sifat kuasa hukumnya kufur. Dalil Allah Ta’ala berkuasa ialah firman Allah Ta’ala ;


إن الله على كل شيء قدير


“Sesungguhnya Allah berkuasa di atas setiap sesuatu”


2) Di dalam Al-Quran Allah menggunakan kalimah satu tangan, dua tangan, dan tangan-tangan. Jika kita katakan Allah ada dua tangan. Bagaimana dengan ayat yang mengatakan satu tangan dan ayat yang mengatakan tangan-tangan yang lebih daripada dua?


3) Tanyakan juga kepada mereka bagaimana ayat yang Allah Ta’ala menggunakan perkataan “nahnu” (kami). Apakah itu menunjukkan kepada Allah ramai?


Ayat-ayat yang menyebut perkataan tangan tetapi bukan dengan maksud tangan ;


1) (Surah Al-Mujadilah : 12) فقدموا بين يدي نجواكم صدقة


Di dalam ayat ini Allah menyandarkan perkataan tangan kepada “najwa”. Najwa bermaksud perbualan rahsia. Apakah perbualan rahsia juga ada tangan? Jadi tangan di sini bukan bermaksud tangan seperti zahirnya tetapi hanya majaz seperti yang telah dijelaskan di atas.


2) (Surah Al-A’raaf : 57) وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ


Di dalam ayat ini disebut tangan rahmat. Rahmat di sini bermaksud hujan. Apakah hujan ada tangan?


Dua ayat di atas menafikan pandangan wahabi yang mengatakan tangan Allah dengan maksud hakiki bukan majazi. Padahal jika diletak makna hakiki kepada dua ayat di atas amatlah menyimpang daripada maksudnya. Justeru itu, ulama’ memahami makna yadun kepada Allah bukan dengan makna tangan yang hakiki tetapi majazi sahaja yang perlu ditakwil kepada makna yang selayaknya seperti kuasa, ni’mat, pahala, pertolongan dan lain-lain sepertimana takwilan ahli sunnah wal jamaah daripada ulama’ khalaf dan salaf demi menjaga kemurniaan akidah umat Islam.


Jika Allah ada tangan bagaimana golongan wahabi ingin menjawab kepada persoalan ayat ini. Firman Allah Ta’ala;


كل من عليها فان ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام


“Semua yang ada di atas dunia akan binasa dan yang kekal wajah Tuhan kamu yang mempunyai ketinggian dan kemuliaan”


Ayat ini menyatakan semua akan binasa kecuali wajah Allah. Di mana tangan Allah? Apakah tangan Allah juga binasa? Dangkal sungguh fahaman yang mengatakan Allah bertangan seperti mana akidah golongan yahudi.


Wajah di sini bermaksud zat Allah yang tidak bertangan dan berwajah seperti fahaman wahabi atau salafi yang mendakwa mengikut salaf tetapi menyimpang daripada akidah salaf yang sebenar. Jika Allah bertangan sudah tentu Allah akan menyebut di dalam ayat di atas tangannya juga kekal. Mana mungkin tangan Allah juga binasa. Diakan Allah yang bersifat dengan sifat baqa’ (tidak binasa dan kekal selama-lamanya).


Kesimpulannya :


1) Tidak salah kita mentakwilkan ayat dua tangan dengan maksud kuasa sepertimana kenyataan ulama’ yang telah ana bawakan. Dua tangan tidak merujuk kepada bilangan dua kuasa kerana sememangnya tangan itu dua. Mewakili Kiri dan kanan. Seperti kita katakan melihat dengan dua mata. Sememangnya melihat dengan menggunakan dua mata bukan dengan dua telinga tetapi ia sebagai jalan taukid (menegaskan) lagi kita benar-benar melihat. Menggunakan dua tangan menunjukkan kita benar-benar buat dalam keadaan bersungguh.


2) Kuasa merupakan sifat wajib bagi Allah adapun tangan merupakan sifat yang mustahil bagi Allah kerana bersalahan dengan sifat mukhalafatuhul lilhawadith.


3) Mengisbatkan tangan bagi Allah boleh menyebabkan kufur dan murtad kerana menyandarkan sifat yang tidak layak bagi Allah dan mensyirikan (menyekutukan) Allah dengan makhluk.. Nauzubillahi min zaalik. Awasi dan jauhi daripada i’tiqad sebegini.





Bahaya Taklid Dalam Tauhid

umat islam hanya mentauhidkan Allah yang esa dan tidak menyembah makhluk lain.
________________________________________

APABILA ditanya dari mana nas al-Quran dan sunnah yang menyebut pembahagian yang jelas bagi tauhid tiga serangkai iaitu tauhid uluhiah, tauhid rububiah dan tauhid asma' wa sifat, pendokongnya yang mengaku berpegang dengan al-Quran dan sunnah pun, teragak-agak mendatangkan hujah.
Lantas mendatangkan hujah-hujah berbentuk taklid iaitu WAMY, ulama-ulama lain dan silibus-silibus beberapa buah universiti yang menyokong. Itu sebenarnya taklid.
Kadang-kadang didatangkan nukilan al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq berkaitan dengan tafsiran perkataan 'ahlussunnah' sebab mahu bergantung dengan ulama silam Ahlussunnah, namun ditiadakan syarahan bahawa Imam al-Baghdadi sebenarnya mensyarahkan tauhid Sifat di dalam kitab tersebut apabila beliau mensyarahkan firqah najiah (firqah yang selamat). Bahkan perkataan 'tauhid-tauhid sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal itulah antara sifat-sifat 20.
Lihat bagaimana Imam al-Baghdadi mensyarahkan pandangan Ahlussunnah dalam mentauhidkan sifat Allah SWT:
"Mereka ijmak bahawa tempat tidak meliputiNya (Allah SWT tidak bertempat) dan masa tidak mengikatnya, berbeza dengan firqah al-Hasyamiah dan al-Karamiah, yang mengatakan Allah memegang arasynya".
(Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal.256).
Dalam isu tauhid, amat merbahaya kita bertaklid. Sepatutnya didatangkan nas-nas yang jelas berkaitan pembahagian tiga serangkai tersebut bersesuaian sekiranya kita bersarjanakan al-Quran dan sunnah.
Kalau berdoa selepas solat secara berjemaah yang tidak ditunjuk oleh hadis secara jelas pun dituduh bidaah dan sesat oleh sesetengah orang (walau berdoa disuruh dalam al-Quran dan sunnah), apatah lagi isu pokok dan besar seperti tauhid.
Apabila ditanya, mana dalil al-Quran dan sunnah apabila anda mengatakan penyembah berhala bertauhid dengan tauhid rububiah (tanpa tauhid uluhiyah)? Lantas akan dinyatakan kata-kata si polan dan polan mengatakan perkara ini dan di sokong pula dengan ulama-ulama ini dan ini.
Persoalan saya: Kenapa tidak ada sepatah pun ayat al-Quran dan hadis atau kata-kata ulama-ulama Salafussoleh (tiga kurun pertama) mengenai perkara ini?
Memang benar ada ayat yang bermaksud:
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah SWT).
(al-Zukhruf: 87).
Dalil ini digunakan untuk menunjuk- kan orang-orang Musyrik (penyembah berhala) beriman dengan iman rububiah. (Mohd. Naim Yasin, hal.11).
Namun kenapa tidak dicantumkan dengan ayat selepasnya?
Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman.
(al-Zukhruf: 88).
Tidak pula al-Quran mahupun sunnah menyebut orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah sahaja! Ini persoalan akidah, sepatutnya ada nasnya secara jelas.
Sebaliknya al-Quran mengatakan dengan jelas bahawa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Mana dalilnya sebab ini persoalan akidah?
Ini adalah taklid. Kenapa kita membenarkan taklid dalam soalan akidah sebegini? Kita amat tidak adil apabila membenarkan taklid pada persoalan akidah sebegini.
Lantas kemungkinan saya pula ditanya:
Apa dalil kamu dari al-Quran dan sunnah yang menyebabkan kamu mengkhususkan Sifat 20 untuk Allah SWT?
Maka saya berkata:
"Bahawasanya Allah SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan maha suci dari segala kekurangan. Sesungguhnya ketuhanannya melazimkan kesempurnaan mutlak secara khusus untuk ZatNya.
"Kemudian, kami memilih sifat-sifat terpenting daripada sifat-sifatNya yang maha sempurna dan kami menjelaskannya secara terperinci perkara-perkara dan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengannya
(Lihat al-Buti, 1992, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyyah, h108).
Adalah satu fitnah sekiranya kami dikatakan menghadkan sifat Allah SWT kepada 20 sahaja!
Saya mungkin ditanya lagi:
Mana dalilnya dari al-Quran dan sunnah? Saya akan mengatakan bahawa semua sifat dua puluh itu ada dalilnya di dalam al-Quran dan sunnah. Kalau mahu diperincikan, boleh dilihat dalam semua buku yang mensyarahkan Sifat 20.
Saya ditanya lagi: Bukankan Sifat 20 itu susunan Muktazilah?
Saya berkata:
Sekiranya saudara membaca sejarah Islam silam, saudara akan memahami bahawa pada zaman Khalifah Abbasiah iaitu Ma'mun bin Harun ar Rasyid (198H-218H), al-M'tashim (218H-227H) dan al-Watsiq (227H-232H) adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah.

Dalam sejarah Islam, dinyatakan terjadinya apa yang dinamakan 'fitnah al-Quran itu makhluk' yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah.

Pada masa itu, Imam Abu Hassan al-Asy'ari muda remaja, dan belajar kepada seorang Sheikh Muktazilah, iaitu Muhammad Abdul Wahab al-Jabai (wafat 303H).

Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) melihat terdapat kesalahan besar kaum Muktazilah yang bertentangan dengan iktiqad (keyakinan) Nabi SAW dan sahabat-sahabat baginda, dan banyak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Lantas beliau tampil meninggalkan fahaman Muktazilah dan menongkah hujah-hujah kaum Muktazilah.
Kefahaman Masyarakat
Bermula dari itulah, Imam Abu Hassan al-Asy'ari melawan kaum Muktazilah dengan lidah dan tulisannya. Justeru, susunan tauhidnya bermula setelah dia berjuang menentang Muktazilah dan mengembalikan kefahaman masyarakat kepada al-Quran dan sunnah.
Di atas jalannya, ulama silam menelusuri, antaranya ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365H), Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat 411H)., Imam al-Hafiz al-Baihaqi (wafat 458), Imam Haramain al-Juwaini (wafat 460H), Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465H), Imam al-Baqilani (wafat 403H), Imam al-Ghazali (wafat 505H), Imam Fakhrurazi (wafat 606H) dan Imam Izzuddin bin Abd Salam (wafat 660H). (Lihat Kiyai Sirajuddin Abbas (2008). Aqidah ahlussunnah wal Jamaah, h21-23).
Tidak pernah wujud pertelingkahan antara penghuraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan pengikut-pengikut mazhab fiqh yang empat.
Kemudian saya mungkin diperlekeh kerana pengajian sifat 20 ini bentuknya kaku, lantas contoh sindirannya ialah:
"Wujud maksud ada, lawannya tiada.... akhirnya semuanya tiada".
Saya katakan sememangnya cara perbahasan Sifat 20 kena diperbaharui dan diringkaskan.
Dalil-dalil al-Quran berkaitan sifat tersebut perlu lebih dipertekankan berbanding dengan dalil-dalil akal yang rumit-rumit yang mungkin zaman kita tidak memerlukannya.
Pada saya, mungkin penulisan seorang ulama Indonesia Kiai Sirajuddin Abbas bertajuk: Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, boleh digunakan untuk memudahkan kefahaman pembaca. Buku ini masih banyak dijual di toko-toko buku di Wisma Yakin, Kuala Lumpur.
Saya kemudian ditanya berkaitan dengan sahabat-sahabat saya yang mungkin belajar dan mengajar tauhid tiga serangkai ini?
Saya katakan pengalaman saya mendengar pensyarah-pensyarah dan sahabat-sahabat saya yang mengajar tauhid pecah tiga ini, ada di kalangan mereka tidak ekstrem, tidak sampai mengkafirkan/mensyirikkan golongan yang tidak sependapat.
Contohnya bila memperkatakan tawassul dan menziarahi kubur, ada di kalangan mereka menerimanya tanpa mengkafirkannya atau menyesatkannya.
Demikian juga persoalan penafsiran ayat-ayat sifat, ada yang tidak menerima/ tidak taklid bulat-bulat kenyataan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan lebih kepada menyerahkan kepada Allah SWT. Mereka lebih suka merujuk terus ke Ibn Taymiyyah berbanding Sheikh Abd Wahhab.
Di kalangan mereka (mengikut cerita adik saya ketika dia belajar di Universiti Yarmuk, Jordan), pensyarah Aqidahnya mengatakan: Kamu orang-orang Malaysia, ramai mengikut Ahlu sunnah aliran Asyairah.
Namun, tauhid yang diajarkan ini mengikut susunan Ibn Taymiyah kerana menjadi silibus Universiti ini (pada masa itu). Terserah kepada kamu mengikut keyakinan Asyairah itu (tanpa beliau menyesatkannya).
Mereka menyedari ramai ulama silam (sama ada muhadithin, fuqaha' atau mufassirin) dari kurun ke tiga Hijrah berpegang kepada huraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333H).
Walaupun begitu, ada yang amat ekstrem dalam pegangannya sehinggakan menyesatkan imam-imam terdahulu yang berada dalam lingkungan ratusan tahun.
Semoga pembaca membuat pertimbangan dan terbuka berkaitan isu ini. Pada saya berpegang pada tauhid susunan dan huraian orang yang dekat dengan Rasulullah SAW (al-'ali) lebih selamat dari berpegang kepada tauhid orang terkemudian dan sekarang yang kelihatan cacar marba metodenya dan bertaklid dengan orang-orang baru (al-nazil).
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kesesatan dan menganugerahkan kita jalan yang lurus.
Sumber : Utusan Malaysia
Bacaan Tambahan :
I'tiqad Al-Asy'ari Adalah i'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ulamak-ulamak Asya'iroh

Aqidah Al Azhar Oleh Dr Yusof al Qardhawi

Hukum Mengkafirkan Golongan Asya'irah



Bahaya Taklid Dalam Tauhid

umat islam hanya mentauhidkan Allah yang esa dan tidak menyembah makhluk lain.
________________________________________

APABILA ditanya dari mana nas al-Quran dan sunnah yang menyebut pembahagian yang jelas bagi tauhid tiga serangkai iaitu tauhid uluhiah, tauhid rububiah dan tauhid asma' wa sifat, pendokongnya yang mengaku berpegang dengan al-Quran dan sunnah pun, teragak-agak mendatangkan hujah.
Lantas mendatangkan hujah-hujah berbentuk taklid iaitu WAMY, ulama-ulama lain dan silibus-silibus beberapa buah universiti yang menyokong. Itu sebenarnya taklid.
Kadang-kadang didatangkan nukilan al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq berkaitan dengan tafsiran perkataan 'ahlussunnah' sebab mahu bergantung dengan ulama silam Ahlussunnah, namun ditiadakan syarahan bahawa Imam al-Baghdadi sebenarnya mensyarahkan tauhid Sifat di dalam kitab tersebut apabila beliau mensyarahkan firqah najiah (firqah yang selamat). Bahkan perkataan 'tauhid-tauhid sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal itulah antara sifat-sifat 20.
Lihat bagaimana Imam al-Baghdadi mensyarahkan pandangan Ahlussunnah dalam mentauhidkan sifat Allah SWT:
"Mereka ijmak bahawa tempat tidak meliputiNya (Allah SWT tidak bertempat) dan masa tidak mengikatnya, berbeza dengan firqah al-Hasyamiah dan al-Karamiah, yang mengatakan Allah memegang arasynya".
(Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal.256).
Dalam isu tauhid, amat merbahaya kita bertaklid. Sepatutnya didatangkan nas-nas yang jelas berkaitan pembahagian tiga serangkai tersebut bersesuaian sekiranya kita bersarjanakan al-Quran dan sunnah.
Kalau berdoa selepas solat secara berjemaah yang tidak ditunjuk oleh hadis secara jelas pun dituduh bidaah dan sesat oleh sesetengah orang (walau berdoa disuruh dalam al-Quran dan sunnah), apatah lagi isu pokok dan besar seperti tauhid.
Apabila ditanya, mana dalil al-Quran dan sunnah apabila anda mengatakan penyembah berhala bertauhid dengan tauhid rububiah (tanpa tauhid uluhiyah)? Lantas akan dinyatakan kata-kata si polan dan polan mengatakan perkara ini dan di sokong pula dengan ulama-ulama ini dan ini.
Persoalan saya: Kenapa tidak ada sepatah pun ayat al-Quran dan hadis atau kata-kata ulama-ulama Salafussoleh (tiga kurun pertama) mengenai perkara ini?
Memang benar ada ayat yang bermaksud:
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah SWT).
(al-Zukhruf: 87).
Dalil ini digunakan untuk menunjuk- kan orang-orang Musyrik (penyembah berhala) beriman dengan iman rububiah. (Mohd. Naim Yasin, hal.11).
Namun kenapa tidak dicantumkan dengan ayat selepasnya?
Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman.
(al-Zukhruf: 88).
Tidak pula al-Quran mahupun sunnah menyebut orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah sahaja! Ini persoalan akidah, sepatutnya ada nasnya secara jelas.
Sebaliknya al-Quran mengatakan dengan jelas bahawa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Mana dalilnya sebab ini persoalan akidah?
Ini adalah taklid. Kenapa kita membenarkan taklid dalam soalan akidah sebegini? Kita amat tidak adil apabila membenarkan taklid pada persoalan akidah sebegini.
Lantas kemungkinan saya pula ditanya:
Apa dalil kamu dari al-Quran dan sunnah yang menyebabkan kamu mengkhususkan Sifat 20 untuk Allah SWT?
Maka saya berkata:
"Bahawasanya Allah SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan maha suci dari segala kekurangan. Sesungguhnya ketuhanannya melazimkan kesempurnaan mutlak secara khusus untuk ZatNya.
"Kemudian, kami memilih sifat-sifat terpenting daripada sifat-sifatNya yang maha sempurna dan kami menjelaskannya secara terperinci perkara-perkara dan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengannya
(Lihat al-Buti, 1992, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyyah, h108).
Adalah satu fitnah sekiranya kami dikatakan menghadkan sifat Allah SWT kepada 20 sahaja!
Saya mungkin ditanya lagi:
Mana dalilnya dari al-Quran dan sunnah? Saya akan mengatakan bahawa semua sifat dua puluh itu ada dalilnya di dalam al-Quran dan sunnah. Kalau mahu diperincikan, boleh dilihat dalam semua buku yang mensyarahkan Sifat 20.
Saya ditanya lagi: Bukankan Sifat 20 itu susunan Muktazilah?
Saya berkata:
Sekiranya saudara membaca sejarah Islam silam, saudara akan memahami bahawa pada zaman Khalifah Abbasiah iaitu Ma'mun bin Harun ar Rasyid (198H-218H), al-M'tashim (218H-227H) dan al-Watsiq (227H-232H) adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah.

Dalam sejarah Islam, dinyatakan terjadinya apa yang dinamakan 'fitnah al-Quran itu makhluk' yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah.

Pada masa itu, Imam Abu Hassan al-Asy'ari muda remaja, dan belajar kepada seorang Sheikh Muktazilah, iaitu Muhammad Abdul Wahab al-Jabai (wafat 303H).

Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) melihat terdapat kesalahan besar kaum Muktazilah yang bertentangan dengan iktiqad (keyakinan) Nabi SAW dan sahabat-sahabat baginda, dan banyak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Lantas beliau tampil meninggalkan fahaman Muktazilah dan menongkah hujah-hujah kaum Muktazilah.
Kefahaman Masyarakat
Bermula dari itulah, Imam Abu Hassan al-Asy'ari melawan kaum Muktazilah dengan lidah dan tulisannya. Justeru, susunan tauhidnya bermula setelah dia berjuang menentang Muktazilah dan mengembalikan kefahaman masyarakat kepada al-Quran dan sunnah.
Di atas jalannya, ulama silam menelusuri, antaranya ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365H), Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat 411H)., Imam al-Hafiz al-Baihaqi (wafat 458), Imam Haramain al-Juwaini (wafat 460H), Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465H), Imam al-Baqilani (wafat 403H), Imam al-Ghazali (wafat 505H), Imam Fakhrurazi (wafat 606H) dan Imam Izzuddin bin Abd Salam (wafat 660H). (Lihat Kiyai Sirajuddin Abbas (2008). Aqidah ahlussunnah wal Jamaah, h21-23).
Tidak pernah wujud pertelingkahan antara penghuraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan pengikut-pengikut mazhab fiqh yang empat.
Kemudian saya mungkin diperlekeh kerana pengajian sifat 20 ini bentuknya kaku, lantas contoh sindirannya ialah:
"Wujud maksud ada, lawannya tiada.... akhirnya semuanya tiada".
Saya katakan sememangnya cara perbahasan Sifat 20 kena diperbaharui dan diringkaskan.
Dalil-dalil al-Quran berkaitan sifat tersebut perlu lebih dipertekankan berbanding dengan dalil-dalil akal yang rumit-rumit yang mungkin zaman kita tidak memerlukannya.
Pada saya, mungkin penulisan seorang ulama Indonesia Kiai Sirajuddin Abbas bertajuk: Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, boleh digunakan untuk memudahkan kefahaman pembaca. Buku ini masih banyak dijual di toko-toko buku di Wisma Yakin, Kuala Lumpur.
Saya kemudian ditanya berkaitan dengan sahabat-sahabat saya yang mungkin belajar dan mengajar tauhid tiga serangkai ini?
Saya katakan pengalaman saya mendengar pensyarah-pensyarah dan sahabat-sahabat saya yang mengajar tauhid pecah tiga ini, ada di kalangan mereka tidak ekstrem, tidak sampai mengkafirkan/mensyirikkan golongan yang tidak sependapat.
Contohnya bila memperkatakan tawassul dan menziarahi kubur, ada di kalangan mereka menerimanya tanpa mengkafirkannya atau menyesatkannya.
Demikian juga persoalan penafsiran ayat-ayat sifat, ada yang tidak menerima/ tidak taklid bulat-bulat kenyataan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan lebih kepada menyerahkan kepada Allah SWT. Mereka lebih suka merujuk terus ke Ibn Taymiyyah berbanding Sheikh Abd Wahhab.
Di kalangan mereka (mengikut cerita adik saya ketika dia belajar di Universiti Yarmuk, Jordan), pensyarah Aqidahnya mengatakan: Kamu orang-orang Malaysia, ramai mengikut Ahlu sunnah aliran Asyairah.
Namun, tauhid yang diajarkan ini mengikut susunan Ibn Taymiyah kerana menjadi silibus Universiti ini (pada masa itu). Terserah kepada kamu mengikut keyakinan Asyairah itu (tanpa beliau menyesatkannya).
Mereka menyedari ramai ulama silam (sama ada muhadithin, fuqaha' atau mufassirin) dari kurun ke tiga Hijrah berpegang kepada huraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333H).
Walaupun begitu, ada yang amat ekstrem dalam pegangannya sehinggakan menyesatkan imam-imam terdahulu yang berada dalam lingkungan ratusan tahun.
Semoga pembaca membuat pertimbangan dan terbuka berkaitan isu ini. Pada saya berpegang pada tauhid susunan dan huraian orang yang dekat dengan Rasulullah SAW (al-'ali) lebih selamat dari berpegang kepada tauhid orang terkemudian dan sekarang yang kelihatan cacar marba metodenya dan bertaklid dengan orang-orang baru (al-nazil).
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kesesatan dan menganugerahkan kita jalan yang lurus.
Sumber : Utusan Malaysia
Bacaan Tambahan :
I'tiqad Al-Asy'ari Adalah i'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ulamak-ulamak Asya'iroh

Aqidah Al Azhar Oleh Dr Yusof al Qardhawi

Hukum Mengkafirkan Golongan Asya'irah





KENYATAAN ULAMA'-ULAMA' NUSANTARA MENGENAI ALLAH TIDAK BERTEMPAT
ULAMA` NUSANTARA[1]

Al-Shaykh Daud ibn Abdullah al-Fatani berkata dalam kitabnya al-Durrur al-Thamin[2]:

“Maka wajib atas mukallaf menafikan daripada Allah Tuhan sekalian alam daripada serupai akan Dia dengan segala yang baharu seperti jirim dan `arad dan yang melazimkan bagi jirim dan `arad (dan) lazim bagi jirim itu empat perkara iaitu baharu dan bersusun dan mengambil lapang (ruang atau tempat) dan qabul bagi `arad seperti maqadir (ukuran dan sukatan) dan jihah (arah) dan zaman dan hampir dan jauh dan kecil dan besar dan bersentuh dan bergerak dan diam…”.

Al-Shaykh `Abdus-Samad ibn al-Falimbani (W. 1206 H) berkata dalam kitabnya Hidayat al-Salikin [3]:

“Maha suci Allah ta`ala daripada pindah dan bergerak dan mengambil tempat dan bertempat yang tertentu pada suatu benua dan berpihak dengan pihak yang tertentu... tiada meliputi akan Allah ta`ala itu oleh tempat… dan tiada menentukan Allah ta`ala itu oleh zaman… adalah Allah itu dahulu daripada bahawa Ia menjadikan akan zaman dan tempat dan adalah Allah ta`ala sekarang atasnya iaitu ada Ia sedia tiada berubah-ubah daripada sedia-Nya”.

Al-Shaykh Zayn al-`Abidin bin Muhammad Al-Fatani yang masyhur dengan panggilan Tuan Minal berkata dalam kitabnya `Aqidah al-Najin fi `Ilm Usul al-Din[4]:

“(Mukhalafatuhu lil-hawadith) ertinya bersalahan Allah ta`ala bagi segala yang baharu; ertinya tiada bersamaan Allah ta`ala bagi segala yang baharu, maka diketahui daripada yang demikian itu menafikan jirim dan `arad dan kulliyyah dan juz’iyyah dan segala yang lazim bagi segala perkara itu. Dan yang lazim bagi jirim empat perkara pertama baharu dan keduaan bersusun dan ketiga mengambil lapang [ruang atau tempat] dan keempat menerima bagi `arad…”.

Tuan Minal al-Fatani dalam kitabnya Irshadul-`Ibad ila Sabilir-Rashad[5] berkata lagi:

“…Dan bahawasanya Allah ta`ala Maha Suci daripada zaman dan makan yakni tiada lalu atas-Nya oleh masa dan tiada ditentukan dengan suatu tempat seperti barang yang diiktikadkan oleh orang yang jahil dan yang sesat bahawasa Allah ta`ala di dalam fu’ad kita Maha Suci Allah ta`ala daripada demikian itu dan Maha Suci daripada menyerupai bagi akwan tiada meliputi dengan Dia oleh segala pihak dan tiada mendatangkan Dia segala yang baharu. Bersamaan Ia atas Arasy atas wajah yang difirman-Nya dan atas makna yang dikehendaki-Nya akan dia akan sebagai bersamaan yang berpatutan dengan kebesaran-Nya dan ketinggian kepujian-Nya dan kebesaran-Nya…”.

Al-Shaykh Muhammad Zayn ibn al-Faqih Jalal al-Din al-Ashi berkata dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah Sharh Matn Umm al-Barahin[6]:

“…(Dan kelima) mustahil Allah ta`ala itu berhad dengan sesuatu tempat seperti pada Arasy dan lainnya atau masa seperti lalu atas-Nya siang dan malam…”.

Al-Shaykh Muhammad ibn Isma`il Daud al-Fatani berkata kitabnya Matla` al-Badrayn wa Majma` al-Bahrayn[7]:

“Dan setengah daripada yang mustahil pada hak Allah ta`ala dua puluh sifat dan iaitu segala lawan dua puluh sifat; pertama dan iaitu (`adam) ertinya tiada (dan huduth) ertinya baharu….. (dan mumathalah dengan hawadith) ertinya menyerupai dengan yang baharu dengan bahawa ada Ia berjirim ertinya mengambil Zat-Nya yang maha tinggi akan kadar daripada lapang atau ada Ia `arad yang berdiri dengan jirim atau ada Ia pihak bagi jirim atau bagi-Nya pihak atau berhad Ia dengan tempat…”.

Sayyid `Ulama’il-Hijaz al-Mutakallim al-Mufassir al-Shaykh Muhammad Nawawi ibn `Umar al-Bantani (W. 1316 H ) berkata dalam kitabnya al-Thimar al-Yani`ah fi al-Riyad al-Badi`ah [8]ketika membicarakan sifat persamaan dengan makhluk yang mustahil bagi Allah taala:

"أَوْ يَكُوْنُ تَعَالَى فِيْ جِهَةِ لِلْجِرْمِ بِأَنْ يَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ شِمَالِهِ أَوْ فَوْقِهِ أَوْ تَحْتِهِ أَوْ أَمَامِهِ أَوْ خَلْفِهِ أَوْ يَكُوْنَ لَهُ تَعَالَى جِهَةٌ بِأَنْ يَكُوْنَ لَهُ يَمِيْنٌ أَوْ شِمَالٌ أَوْ فَوْقٌ أَوْ تَحْتٌ أَوْ خَلْفٌ أَوْ أَمَامٌ أَوْ يَتَقَيَّدَ بِمَكَانٍ بِأَنْ يَحُلَّ فِيْهِ بِأَنْ يَكُوْنَ فَوْقَ الْعَرْشِ".

Maksudnya:
“…atau (Allah) ta`ala (itu) (mustahil) di suatu arah bagi jirim dengan keadaan Dia berada di kanan jirim, atau kirinya, atau atasnya, atau bawahnya, atau depannya, atau belakangnya, atau (Allah) taala (itu) (mustahil) bagi-Nya ada suatu arah dengan keadaan ada bagi-Nya kanan, atau kiri, atau atas, atau bawah, atau belakang, atau depan, atau (Allah taala itu mustahil) bergantung dengan suatu tempat dengan keadaan Dia bertempat padanya dengan keadaan Dia berada di atas `Arasy”.

Al-Shaykh Muhammad Nawawi al-Bantani berkata lagi dalam kitabnya Nur al-Zalam Sharh Manzumah `Aqidah al-`Awam[9]:

"وَكُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ مِنْ صِفَاتِ الْحَوَادِثِ لا تُصَدِّقْ أَنَّ فِي اللهِ شَيْئًا مِنْ ذَلِكْ وَلَيْسَ لَهُ مَكَانٌ أَصْلاً فَلَيْسَ دَاخِلاً فِي الدُّنْيَا وَلا خَارِجًا عَنْهًا".

Maksudnya:
“…dan setiap sifat perkara baharu yang melintasi benak anda maka jangan anda mempercayai bahawa pada Allah itu ada sesuatu daripada perkara tersebut, dan tiada bagi-Nya suatu tempat dengan asal. Maka Dia bukan di dalam dunia dan bukan juga di luarnya”.

Al-Shaykh Muhammad Mukhtar ibn `Utarid al-Buquri berkata dalam kitabnya Usul al-Din I`tiqad Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah[10]:

“(Keempat) Mukhalafatuhu li al-hawadith ertinya bersalahan Allah ta`ala bagi sekalian yang baharu yakni zat Allah ta`ala itu bukan jirim dan bukan jisim yakni bukan barang yang ada pada diriannya serta memenuhi lapang, dan zat Allah ta`ala tiada ada tempat-Nya; tiada Ia di langit dan tiada di bumi dan tiada pada lainnya dan tiada Ia pada satu pihak; tiada di bawah dan tiada di atas dan tiada di utara dan tiada di selatan dan tiada di timur dan tiada di barat…”.

Al-Shaykh Muhammad Mukhtar berkata lagi[11]:

“(Maka) mustahil Allah ta`ala bersamaan dengan sekalian yang baharu yakni mustahil Allah ta`ala zat-Nya ada berjirim dan berjisim yakni ada perdirian-Nya yang memenuhi lapang dan mustahil zat-Nya ada tempat-Nya seperti di langit atau lainnya dan mustahil zat-Nya ada di dalam satu pihak seperti di atas atau lainnya…”.

Al-Shaykh Wan Isma`il ibn `Abdil-Qadir Ibn Mustafa al-Fatani yang masyhur dengan panggilan Pak Da Eil berkata dalam kitabnya Sharh Bakurah al-Amani li-Isharah `Awam Ahl al-Fatani[12]:

“(Keempat: Mukhalafatuhu ta`ala li al-hawadith;) ertinya menyalahi-Nya ta`ala akan yang baharu-baharu. Dan dikehendaki dengan dia akan (bersalahan Allah taala) sedia kala lagi berkekalan (akan yang baharu-baharu ertinya ketiadaan menyamai-Nya) dan ketiadaan menyerupai-Nya ta`ala (akan sesuatu daripada makhluk) ini (pada zat-Nya) kerana bahawasa zat makhluk ini jirim yang bertempat dan zat-Nya ta`ala itu bukannya jirim (tiada pula) menyamaikan dia (pada sifat-sifat-Nya) kerana bahawasa sifat-sifat makhluk ini `arad yang bertangkup pada jirim dan menu[m]pan[g]kan dia pada bertempat dan sifat-sifat-Nya taala itu bukannya `arad...”.

Al-Shaykh Husayn Nasir Ibn Tayyib al-Mas`udi al-Banjari berkata dalam kitabnya Hidayah al-Mutafakkirin[13]:

“Ertinya zat Allah ta`ala itu bukan Ia jirim dan jisim dan jawhar fard dan tiada Ia berpihak dan tiada Ia pada satu pihak bagi jirim dan tiada Ia bertempat dan tiada Ia bermasa dan tiada Ia bersifat dengan kecil dan tiada Ia bersifat dengan besar dan tiada Ia bersifat dengan segala sifat yang baharu ini…”.

Al-Shaykh `Abdul-`Aziz ibn Isma`il al-Fatani berkata dalam khutbah kitabnya al-Misbah al-Munir fi Ma`rifatillah al-Qadir[14]:

“Dan aku memohon kepada Allah pula bahawa menjadikan risalah ini perisai yang dapat mempertahankan dan dapat menolakkan akan segala ajaran-ajaran yang sesat yang menyesatkan orang awam, yang dibawa akan dia oleh orang-orang yang tidak sangkakan dengan jahilnya seperti ajaran-ajaran yang mengatakan tidak wajib belajar sifat-sifat dua puluh yang termasyhur itu dan ajaran-ajaran melihat Tuhan di dalam dunia, dan ajaran-ajaran yang memegang dengan zahir ayat mutashabihah dan mengatakan Tuhan bertempat dan sebagainya daripada ajaran-ajaran sesat”.

Al-Shaykh `Abdul-`Aziz al-Fatani berkata lagi di tempat yang lain dalam kitabnya yang sama[15]:

“Dan makna bersalahan itu tiga perkara; bersalahan pada zat dengan makna zat Allah taala bukannya jirim yang bertempat walaupun di mana tempat dan makhluk ini semuanya jirim yang bertempat. Kalau begitu tidak boleh dikatakan Allah taala itu bertempat di mana-mana tempat, maka jika didapati di dalam Quran dan hadith barang yang memberi waham menyerupai dan bertempat maka dinamakan ayat itu ayat mutashabihah dan hadith mutashabihah, maka wajib ditakwil akan dia supaya lepas daripada shubhah itu sama ada takwil itu dengan jalan ijmal seperti takwil ulama salaf atau takwil akan dia dengan jalan tafsil seperti takwil ulama khalaf”.

Al-Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa bin Muhammad al-Fathani di dalam kitabnya yang masyhur di tanah jawi iaitu Faridah al-Faraid fi `Ilm al-`Aqaid[16]:

“(Keempat Mukhalafatuhu ta`ala Lilhawadith) ertinya bersalahan Tuhan subhanahu wa ta`ala bagi yang baharu dan maknanya ketiadaan menyamai Allah ta`ala bagi segala makhluk dan jika pada suatu wajah sekalipun kerana segala yang baharu ini tiada suci ia daripada bahawa ada ia jauhar[17] atau ada ia `Aradh dan Allah ta`ala bukannya Jauhar dan bukannya `Aradh maka tiada ia menyerupai akan sesuatu daripada makhluk sekali-kali”.

Al-Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa bin Muhammad al-Fathani di dalam kitabnya `Unwan al-Falah Wa `Unfawan al-Falah[18]:

“(Keempat Mukhalafatuhu ta`ala Lilhawadith) ertinya bersalahan Allah ta`ala bagi segala yang baharu iaitu bahawasa zat Allah ta`ala tiada seperti segala zat yang baharu dan tiada sifat Allah ta`ala seperti segala sifat yang baharu dan tiada perbuatan Allah ta`ala seperti segala perbuatan yang baharu (mustahil) lawannya iaitu Mumathilatuhu Lilhawadith ertinya menyerupai-Nya bagi segala yang baharu (dan dalil) bersalahan Allah ta`ala bagi segala yang baharu bahawasanya jikalau menyerupai ia akan sesuatu daripada yang baharu nescaya adalah ia baharu seumpamanya dan iaitu mustahil kerana telah thabit sedia-Nya maka thabitlah bersalahan bagi segala yang baharu”.


Disebutkan di dalam kitab Risalah al-Tauhid pada pindaan Al-Syaikh `Abdul Ghani Yahya dan `Umar Yusof pada menjelaskan mengenai Mukhalafatuhu Lilhawadith[19]:

“Yang keempat- dalil mukhalafatuhu Lilhawadith iaitu jikalau Tuhan serupa dengan yang baharu nescaya jadilah Tuhan ini baharu juga kerana barang yang boleh jadi atas salah suatu daripada dua yang serupa itu harus pula atas lainnya maka baharu Tuhan itu mustahil kerana telah wajib bagi Tuhan bersifat qidam dan baqa’ yang demikian tetaplah Tuhan itu bersalahan dengan segala yang baharu bagaiman dalil naqilnya ((ليس كمثله شيء)) ertinya tiada sesuatu jua pun serupa dengan Tuhan”.


Al-Syaikh al-Haj `Abdullah bin al-Haj Ibrahim al-Fathani di dalam kitabnya iaitu syarah bagi kitab Faridah al-Faraid yang berjudul `Umdah al-Thalib al-Mujtahid fi Syarh Faridah al-Faraid fi `Ilm al-`Aqaid fi Darajat Ibtida’ ta`lim `Ilm al-`Aqaid Targhiban fi Fauz al-Faraid al-Fawaid[20]:

“(ليس كمثله شيء وهو السميع البصير) ertinya tiada seperti umpamanya ertinya umpama Allah suatu dan ialah ertinya Allah ta`ala yang amat mendengar dan amat ,elihat dan makna tiada seperti suatu itu tiada suatu daripada zat-zat makhluk dan sifat-sifatnya dan perbuatan-perbuatannya seumpama Zat Allah ta`ala dan sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya kerana zat-Nya ta`ala bukannya daripada bangsa jirim dan sifat-sifat-Nya bukannya bangsa `Aradh”.

Al-Syaikh Ibrahim al-Laqani pengarang Matan Jauharah al-Tauhid dan telah diterjemahkan oleh seorang ulama’ tanah jawi dengan bahasa melayu[21]:

"وَإِنَّهُ لِمَا يَنَالُ الْعَدَمُ ، مُخَالِفٌ بُرْهَانُ هَذَا الْقِدَمُ".

Maksudnya:
"Yakni bahawa sesungguhnya kerana yang diperolehi dengan `adam itu mukhalafah dengan wujud Allah subhanahu wa ta`ala dan sifat-Nya dan af`al-Nya (syahdan) wajib atas tiap-tiap mukalaf itu mengiktiqadkan bahawasanya zat Allah ta`ala dan sifat-Nya dan af`al-Nya itu Mukhalafah dengan segala wujud yang baharu dan kata setengah ulama’ erti mukhalafatuhu Lilhawadith itu maka iaitu rajin daripada menafikan barang yang tiada dapat bagi Allah ta`ala seperti jirim dan `Aradh dan kulliyyat dan juz’iyyat dan barang sebagainya kerana bahawasanya segala wujud yang baharu itu ada kalanya jisim dan ada kalanya jauhar dan ada kalanya `Aradh (dan) `Aradh itu bahagi atas empat bahagi pertama zaman kedua makan ketiga jihah keempat had serta nihayah maka samanya itu tentu baharunya dan muhal qidam-Nya dan suci Allah ta`ala daripada demikian itu".


SULTAN SELANGOR DARUL EHSAN AL-MARHUM AL-SULTANUL-MU`AZZAM `ALA'UD-DIN SULAYMAN SHAH

Al-Sultanul-Mu`azzam `Ala’ud-din Sulayman Shah berkata di dalam kitab baginda Pohon Agama; Bahagian Rukun Iman[22]:

“5. “Qiyamuhu bi-nafsi-hi” maka bukan Ia jirim (mengambil lapang) dan bukan Ia `arad (barang yang berkehendak kepada tempat pendiriannya). Maka tiada Ia di atas sesuatu dan tiada Ia di bawah sesuatu dan tiada ada kanan sesuatu dan tiada di kiri sesuatu dan tiada di hadapan sesuatu dan tiada di belakang sesuatu dan tiada bagi-Nya atas dan tiada bagi-Nya bawah dan tiada bagi-Nya kanan dan [tiada] bagi-Nya kiri dan tiada bagi-Nya hadapan dan tiada bagi-Nya belakang dan tiada bermasa dan tiada bertempat dan tiada disifatkan zat-Nya dengan kecil atau besar atau panjang atau pendek dan tiada bersifat zat-Nya dengan warna putih atau kuning atau hijau atau barang sebagainya dan tiada bermasuk-masukkan dengan sesuatu dan tiada Ia mengambil manfaat atau kerana menolakkan mudarat”.

JAKIM (JABATAN KEMAJUAN ISLAM MALAYSIA)

Selanjutnya, Bahagian Hal Ehwal Agama Islam (BAHEIS) [sekarang dikenali sebagai Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM)], Jabatan Perdana Menteri telah menerbitkan sebuah kitab yang berjudul “Mestika Hadis Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam” yang secara kerjasama ditulis dan disusun oleh Sahibul-Fadilah Dato’ Hj. Muhammad Nor bin Hj. Ibrahim, Tn. Hj. Ismail bin Hj. Yusuf dan al-Syeikh `Abdullah bin Muhammad Basmeih. Di dalam jilid 1 kitab tersebut ada dinyatakan aqidah tanzih yang menquduskan Allah dari jisim, arah, tempat dan masa. Berikut adalah petikannya[23]:

“Dengan thabitnya keesaan yang sebenarnya bagi Allah ta`ala, maka nyatalah bahawa wujud Dzat-Nya bersih suci daripada tersusun yang membawa kepada berjisim atau berpihak (bertempat)”.

Kemudian ketika menjelaskan makna Surah Al-Syura ayat 11 ada dinyatakan[24]:

“(4) Menyalahi segala rupa bentuk, segala corak warna dan segala cara dan gaya yang didapati oleh pancaindera atau yang difikirkan oleh akal, juga berkeadaan tidak diliputi oleh masa atau tempat ta`alallahu `amma yasifun”.


FATWA MUFTI SELANGOR

Nombor Rujukan Jabatan Mufti Selangor: ( 90 ) dlm.mufti.sel 500-1.Jld.3 Bertarikh 13 Ogos 2010 / 03 Ramadhan 1431. Jawapan Fatwa Adalah Seperti Berikut:

i- Kepercayaan Allah berjisim dan bersifat duduk bersila atau Allah bertempat adalah kepercayaan atau i'tiqad kaum MUSYABBIHAH (MUJASSIMAH). Dinamakan kaum musyabbih (menyerupakan) kerana mereka menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Mereka mengatakan bahawa Allah bertangan, berkaki, bertubuh seperti manusia. Di antara i'tiqad sesat mereka yang bertentangan dengan i'tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah ialah seperti berikut:

a. Allah bermuka dan bertangan.
b. Allah duduk bersila di atas arasy.
c. Allah berada di langit.
d. Allah bertubuh serupa nur.

I'tiqad seperti di atas adalah bertentangan dengan i'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah lagi sesat dan menyesatkan kerana Allah tidak boleh sekali-kali diserupakan dengan makhluk (al-Syura ayat 11). I'tiqad ini membawa kepada syirik yang mengeluarkan seseorang daripada Islam.

ii- Amalan bertawassul sama ada dengan nabi atau orang soleh adalah diharuskan kerana pada hakikatnya mereka yang bertawassul itu beri'tiqad segala usaha ikhtiar dan doa yang dilakukan oleh manusia hanya Allah sahaja yang memperkenankannya. (al-Maidah 35)


[1] Kami turut menyenaraikan kata-kata ulama’ Melayu Nusantara bagi membuktikan bahawa apa yang kami nyatakan di sini sebenarnya telah lama dinyatakan oleh ulama’-ulama’ Melayu dahulu. Selain itu, penulis mahu membuktikan bahawa ilmu ulama’-ulama’ Melayu dahulu bukanlah cetek seperti yang disangka oleh golongan Wahhabi. Golongan Wahhabi sering mendakwa bahawa dengan mempelajari kitab-kitab kuning ini, ilmu kita tidak akan sampai ke mana. Bagi mereka mempelajari kitab-kitab kuning akan menjadikan seseorang itu berfikiran beku dan jumud. Semoga Allah meredhai ulama’-ulama’ kita yang telah menerangi rantau nusantara ini dengan ilmu-ilmu mereka.

[2] Al-Shaykh Dawud al-Fatani(t.t), al-Durru al-Thamin, Pulau Pinang: Percetakan Almuarif Sdn Bhd, h. 23.

[3] Al-Shaykh `Abdus-Samad al-Falimbani(t.t), Hidayat al-Salikin, Pulau Pinang: Maktabah wa-Matba`ah Dar al-Mu`arif, h. 8

[4] Al-Shaykh Zayn al-`Abidin ibn Muhammad al-Fatani (t.t), `Aqidah al-Najin fi `Ilm Usul al -Din, (t.t.p): Mathba`ah Bin Halabi Press, h. 18 – 19.

[5] Al-Shaykh Zayn al-`Abidin Ibn Muhammad al-Fatani(1343 H), Irshad al-`Ibad ila Sabil al-Rashad, Singapura: al-Matba`ah al-Ahmadiyyah, h. 4 - 5.

[6] Al-Shaykh Muhammad Zayn Ibn al-Faqih Jalal al-Din al-Ashi(t.t), Bidayah al-Hidayah Sharh Matn Umm al-Barahin, Thailand, Bangkok: Maktabah wa-Matba`ah Muhammad al-Nahdi wa-Awladih, Bangkok, h. 13.

[7] Al-Shaykh Muhammad Ibn Isma`il Dawud al-Fatani(t.t), Matla` al-Badrayn wa-Majma` al-Bahrayn, (t.tp): Maktabah wa-Matba`ah Muhammad al-Nahdi wa-Awladih, h. 6.

[8] Al-Shaykh Muhammad Nawawi al-Bantani(t.t), al-Thimar al-Yani`ah fi al-Riyad al-Badi`ah, Kaherah: Muhammad al-Kutbi, h. 5.

[9] Al-Shaykh Muhammad Nawawi al-Bantani(t.t), Nur al-Zalam Sharh Manzumah `Aqidah al-`Awam, Jeddah: Dar al-Hawi, h. 37.

[10] Al-Shaykh Muhammad Mukhtar Ibn `Utarid al-Buquri(t.t), Usul al-Din I`tiqad Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, Pulau Pinang: Percetakan Nahdi, h. 2.

[11] Ibid, h. 3.

[12] Al-Shaykh Wan Isma`il Ibn `Abdil-Qadir ibn Mustafa al-Fatani(1421 H/ 2000 M), Sharh Bakurah al-Amani li-Isharah `Awam Ahl al-Fatani, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, h. 24 - 25.

[13] Al-Shaykh Husayn Nasir Ibn Tayyib al-Banjari(t.t), Hidayah al-Mutafakkirin, Pulau Pinang: Percetakan Almuarif Sdn. Bhd, h. 6.

[14] Al-Shaykh `Abdul-`Aziz Ibn Isma`il al-Fatani(1414 H/ 1994), al-Misbah al-Munir fi Ma`rifatillah al-Qadir, (t.tp): (t.p), c. 3, , h. 3.

[15] Ibid. h. 16 – 17.

[16] Al-Shayk Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa bin Muhammad al-Fathani (t.t.), Faridah al-Faraid fi `Ilm al-`Aqaid, Fathani Thailand: Mathba`ah Bin Halabi Press, h. 6.

[17] (قوله atau ada ia `Aradh) iaitu sesuatu yang maujud yang berhajat pada adanya kepada tempat yang menempati ia padanya seperti warna dan gerak dan diam dan jauh dan hampir. Intaha. Muallif. (Kalam Syaikh Ahmad).

[18] Al-Shayk Ahmad bin Muhammad Zain bin Musthafa bin Muhammad al-Fathani (t.t.), `Unwan al-Falah Wa `Unfawan al-Falah, Fathani Thailand: Mathba`ah Bin Halabi Press, h. 5.

[19] Al-Syaikh `Abdul Ghani Yahya dan `Umar Yusof (t.t.), Risalah al-Tauhid, Fathani Thailand: Mathba`ah Bin Halabi Press, h. 38.

[20] Al-Syaikh al-Haj `Abdullah bin al-Haj Ibrahim al-Fathani (t.t.), `Umdah al-Thalib al-Mujtahid fi Syarh Faridah al-Faraid fi `Ilm al-`Aqaid fi Darajat Ibtida’ ta`lim `Ilm al-`Aqaid Targhiban fi Fauz al-Faraid al-Fawaid, Fathani Thailand: Mathba`ah Bin Halabi Press, h. 46.

[21] Syaikh Ibrahim al-Laqani (t.t), Matan Jauharah al-Tauhid, (t.t.) Fathani Thailand: Mathbah Bin Halabi Press, h. 16.

[22] Al-Sultanul-Mu`azzam `Ala’ud-Din Sulayman Shah(2005), Pohon Agama; Bahagian Rukun Iman, Kuala Lumpur: Khazanah al-Fathaniyah hlm. 10.

[23] Muhammad Nor bin Hj. Ibrahim (Dato’ Hj.), Ismail bin HJ. Yusuf (Hj.)dan Abdullah bin Muhammad Basmieh (1421 H-2000 R), Mestika Hadis Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, (t.tp): Bahagian Hal Ehwal Agama Islam, Jabatan Perdana Menteri, c. 8, h. 181.

[24] Ibid, h. 183.




Apakah Hukum Suatu Perkara Yang Tidak Terdapat Nas Bagi Menunjukkan Haram Atau Halalnya Perkara Tersebut ?

Jawapan :

Hukum tersebut adalah harus dan tidak bid'ah, kerana ALlah subahanahu wa ta'ala telah berfirman :

وَمَآ ءَاتَٮٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَہَٮٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ (٧)

ertinya : Apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan dan apa jua yang dilarangNya kamu melakukannya maka patuhilah laranganNya dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksaNya (bagi orang-orang yang melanggar perintahNya).
(Surah al hasyr : Ayat 7)

ALlah Subahanahu wa ta'ala tidak berfirman, "Apa yang ditinggalkan, maka hendaklah kamu tinggalkan". Sebaliknya RasuluLLah sallaLLahu 'alaihi wasallam menjelaskan melalui riwayat daripada Abu Darda' radiyaLlahu 'anhu yang bererti :

"Apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam KitabNya, maka ia adalah halal. Apa yang diharamkan oleh ALlah, maka ia adalah haram. Apa yang disenyapkan (didiamkan) darinya (yang tidak disebut hukumnya), maka ia adalah dimaafkan (diharuskan). Terimalah daripada ALlah akan kemaafanNya (keharusanNya) kerana sesungguhnya ALlah tidak pernah melupai sesuatu. Kemudian Baginda sallaLLahu 'alaihi wasallam membaca (firman ALlah yang bermaksud:) Dan tidaklah Tuhan kamu itu lupa"

Diriwayatkan oleh al Bazzar dan disohihkan oleh al Hakim.

Menurut jumhur ulama' "halal" itu adalah hukum asal sedangkan yang "haram" adalah sesuatu yang memiliki nas kerana sedikitnya, oleh kerana itu, ia harus diteliti dengan saksama.

Di sebut dalam Matan al Arba'in li Imam an Nawawi : Hadith RasuluLlah yang bererti :
"Sesungguhnya ALlah subahanahu wa ta'ala telah menetapkan kepadamu beberapa kefardhuan maka janganlah kamu melalaikannya dan menetapkan untukmu beberapa batasan maka janganlah kamu melampauinya dan mengharamkan atas kamu beberapa perkara , maka janganlah kamu melanggarnya dan juga telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat untukmu, bukan kerana lupa. Maka janganlah kamu membicarakannya."

Al Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam al Fath : Riwayat ini dikeluarkan oleh Daraquthi dari hadith Abi Tsa'labah dan dia memarfu'kannya kemudian dia berkata : Riwayat ini asalnya ada dalam al Bukhari.

Sumber rujukan :

1. Quran Explorer

2. Al Allamah Abu AbduLLah 'Alawi al Yamani, Intabih diinuka Fi Khatrin, Agamamu Dalam Bahaya, Terjemahan Muhammad Fuad bin Kamaludin al Maliki, Cetakan Kedua, Sofa Production, Selangor.

3. Dr Muhammad Adil Azizah Al Kayali, Al Firqah An Najiah Hia al Ummatul Islamiyah Kulluha, Terjemahan Abu Al Fayadi, Cetakan Pertama 2008, Mutiara Ilmu, Surabaya.


ALLAH BUKAN BERADA DI SUATU TEMPAT, DI SETIAP TEMPAT ATAU DI MANA-MANA TEMPAT



Ketahuilah bahawa seseorang muslim itu tidak boleh berkata: “Allah berada suatu tempat, di setiap tempat atau di mana-mana tempat” meskipun dia memahami ungkapan yang fasid ini bahawa Allah mengetahui setiap perkara. Berikut adalah dalil larangan tersebut:



Al-Mutakallim al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn al-Hassan yang dikenali dengan panggilan Ibn Furak al-Asy`ari murid kepada al-Imam al-Bahili dan al-Imam Abu al-Hassan al-Bahili murid Imam Abu al-Hassan (W. 407 H) berkata dalam kitabnya Mushkil al-Hadith[1]:



"اعْلَمْ أَنَّ الثَّلْجِيَّ كَانَ يَذْهَبُ مَذْهَبَ النَّجَّارِ فِي الْقَوْلِ بِأَنَّ اللهَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُعْتَزِلَةِ وَهَذَا التَّأْوِيْلُ عِنْدَنَا مُنْكَرٌ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ لا يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى فِيْ مَكَانٍ أَوْ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ".



Maksudnya:

“Ketahuilah bahawa al-Thalji pernah berpegang dengan mazhab al-Najjar dalam pendapat bahawa Allah itu di setiap tempat, sedangkan ini juga mazhab al-Mu’tazilah. Takwil ini di sisi kami adalah suatu kemunkaran dari kerana tidak boleh dikatakan bahawa Allah ta`ala itu berada di suatu tempat atau di setiap tempat”.

Al-Mutakallim Abu Bakar Ibn Furak berkata lagi[2]:



"فَمَتَى مَا رَجَعُوْا فِيْ مَعْنَى إِطْلَاقُ ذَلِكَ إِلَى الْعِلْمِ وَالتَّدْبِيْرِ كَانَ مَعْنَاهُمْ صَحِيْحًا وَاللَّفْظُ مَمْنُوْعًا أَلا تَرَى أَنَّهُ لا يَسُوْغُ أَنْ يُقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى مُجَاوِرٌ لِكُلِّ مَكَانٍ أَوْ مُمَاسٌ لَهُ أَوْ حَالٌّ أَوْ مُتَمَكِّنٌ فِيْهِ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ عَالِمٌ بِذَلِكَ مُدَبِّرٌ لَهُ".



Maksudnya:

“Maka apabila mereka merujuk makna ungkapan itu kepada ilmu dan tadbir maka makna mereka itu sahih dan lafaz pula dilarang. Bukankah anda melihat bahawa tidak boleh mengungkap untuk berkata bahawa Allah ta`ala itu bersebelahan di setiap tempat, atau bersentuhan dengan setiap tempat, atau meresap di setiap tempat, atau bertempat di setiap tempat dengan makna bahawa Dia mengetahui dan mentadbir setiap tempat”.



Al-Imam al-Hafiz Abu Bakr al-Bayhaqi al-Syafi`e al-Asy`ari (W. 458 H) berkata dalam kitabnya al-I`tiqad Wa al-Hidayah ila Sabil al-Rashad[3]:



"وِفِيْمَا كَتَبْنَا مِنَ الآيَاتِ دِلالَةٌ عَلَى إِبْطَالِ قَوْلٍ مَنْ زَعَمَ مِنَ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِذَاتِهِ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَقَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: ]وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ [ إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ بِعِلْمِهِ لا بِذَاتِهِ".



Maksudnya:

“Dan dalam ayat-ayat yang telah kami tulis itu ada suatu pendalilan bagi membatalkan pendapat daripada sangkaan golongan al-Jahmiyyah bahawa Allah subhanahu wa-ta’ala itu berada di setiap tempat dengan zat-Nya. Dan firman Allah ‘azza wa-jall ((وهومعكم أين ما كنتم)) sebenarnya bermaksud (dekat/hampir) dengan ilmu-Nya bukannya dengan zat-Nya”.





Hujjatul-Islam al-Shaykh Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi`e al-Asy`ari (W. 505 H) berkata bagi menyanggah Jahm ibn Safwan yang merupakan salah seorang daripada pemuka-pemuka ahli bid`ah dalam kitabnya al-Arba`in fi Usul al-Din[4]:



"وَلا تَرَتَّبَكَ فِيْ مَوَاقِعَ غَلَطَهُ فَمِنْهُ غَلَطُ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ. وَكُلُّ مَنْ نَسَبَهُ إِلَى مَكَانٍ أَوْ جِهَةٍ فَقَدْ زَلَّ فَضَلَّ وَرَجَعَ غَايَةُ نَظْرِهِ إِلَى التَّصَرُّفِ فِيْ مَحْسُوْسَاتِ الْبَهَائِمِ وَلَمْ يُجَاوِزِ الأَجْسَامَ وَعَلَائِقَهَا".



Maksudnya:

“Dan jangan anda……tentang beberapa tempat kesalahannya. Antaranya ialah kesalahan orang yang berkata bahawa Dia (Allah) itu di setiap tempat. Dan setiap orang yang menisbahkan-Nya kepada suatu tempat atau suatu arah maka dia telah menyeleweng dan sesat, dan kemuncak pandangannya merujuk kepada beralih dalam perkara yang dirasai oleh binatang, sedangkan Allah tidak ada kaitan dengan segala jisim dan perkara yang ada kaitan dengan jisim”.



Ibn Kathir (W. 774 H) berkata dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Azim[5]:



"اتَّفَقَ الْمُفَسِّرُوْنَ عَلَى إِنْكَارِ قَوْلِ الْجَهْمِيَّةِ الأَوَّلِ الْقَائِلِ تَعَالَى عَنْ قَوْلِهِمْ عُلُوًّا كَبِيْرًا بِأَنَّهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ".



Maksudnya:

“Ulama tafsir bersepakat bagi menginkar pendapat al-Jahmiyyah golongan pertama yang berkata – Allah maha suci dari pendapat mereka ini – bahawa Allah itu di setiap tempat”.



Al-Imam al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani al-Syafi`i al-Asy`ari (W. 852 H) dalam kitabnya Fath al-Bari[6]:



"وَقَدْ نَزَعَ بِهِ بَعْضُ الْمُعْتَزِلَةِ الْقَائِلِيْنَ بِأَنَّ اللهَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ وَهُوَ جَهْلٌ وَاضِحٌ وَفِيْهِ – أَيْ فِيْ حَدِيْثٍ: (إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاتِهِ فَإْنَّهُ يُنَاجِيْ رَبَّهُ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ) – الرَّدُّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ عَلَى الْعَرْشِ بِذَاتِهِ".



Maksudnya:

“Dan sesungguhnya hadis ini dipertikai oleh sebahagian golongan al-Mu’tazilah yang berkata bahawa Allah itu di setiap tempat, sedangkan ini suatu kejahilan yang nyata. Dan dalamnya – iaitu dalam hadis (إن أحدكم إذا قام في صلاته فإنه يناجي ربّه إن ربّه) بينه وبين القبلة)( - terdapat sanggahan ke atas sesiapa yang menganggap bahawa Dia di atas Arasy dengan zat-Nya”.



Al-Shaykh `Abd al-Wahhab ibn Ahmad al-Sha’rani berkata dalam kitabnya al-Yawaqit wa al-Jawahir:



"لا يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ تَعَالَى فِيْ كُلِّ مَكَانٍ كَمَا تَقُوْلُ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْقَدَرِيَّةُ".



Maksudnya:

“Tidak boleh dikatakan bahawa Dia (Allah) taala itu di setiap tempat seperti yang dikatakan oleh golongan al-Mu`tazilah dan al-Qadariyyah”.



Di sini pengingkaran ditegaskan setegas-tegasnya ke atas kaum Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang berkeyakinan bahawa Allah berada di setiap tempat dan ini adalah keyakinan kufur kerana sesungguhnya Allah wujud tanpa bertempat.





[1] Ibn Furak(t.t), Mushkil al-Hadith, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, h. 63.



[2] Ibid, h. 65 – 66.



[3] Al-Bayhaqi(t.t), al-I’tiqad Wa al-Hidayah ila Sabil al-Rashad, Beirut: ‘Alam al-Kutub, h. 70.



[4] Al-Ghazali(t.t), al-Arba`in fi Usul al-Din, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, h. 198.



[5] Ibn Kathir(t.t), Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Beirut: Dar al-Andalus, j. 3, h. 7.



[6] Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t), Fath al-Bari bi-Sharh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma`rifah, j. 1, h. 508.



AQIDAH IMAM ABU HANIFAH RAH. “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT”!!!
Setiap hari, semenjak tahun 1980 M lagi, Wahhabiyyah (Mujassimah) semakin rancak MENTAHRIF dan MEMALSUKAN isi segala Kitab-kitab Kuning AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH AL-ASYA^IRAH WAL MATURIDIYYAH !!!

Wahhabiy (Mujassimah) mengatakan bahawa ;

"Imam Abu Hanifah rah sendiri yang mengatakan bahawa ALLAH Ta^ALA BERADA di atas Arasy !!!"

Sedangkan ini Pendustaan yang amat Besar di dalam Agama !!!

Mudah-mudahan Allah Ta^ala menghancur leburkan Puak-puak Ahli Hawa Nafsu ini kerana BERDUSTA di atas nama Imam Abu Hanifah rah.!!!

Marilah kita sama-sama melihat kenyataan Imam Abu Hanifah rah. yang membantu gurunya, Asy-Syaikh Hammad untuk MELAWAN orang-orangAtheis (Tak Percaya Tuhan). Perhatikanlah kenyataan Imam Abu Hanifahyang mempertahankan Aqidah yang Haq, iaitu ;

“ALLAH TA^ALA WUJUD TANPA BERTEMPAT !!!”

Tersebut di dalam Kitab Fathul Majid Syarhun ‘Alad Durril Farid Fi ‘Aqaidie Ahlit Tauhid, bagi Hadratusy Syaikh Al-Mukarram Al-Fadil Al-Alim Al-'Allamah Abi 'Abdil Mu'tiy Muhammad Ibni Umar Ibnu Ali An-Nawawiy Al-Banteniy At-Tanariy Sayyidu Ulamail Hijaz, ms 7, baris 7 dari atas.

Atau ;



(Terjemahan yang ditulis di bawah ini tidak ada kaitan sama sekali dengan huruf-huruf yang terkandung di dalam Kitab Fathul Majid Syarhun ‘Alad Durril Farid di atas. Kitab di atas diletakkan hanya sekadar sumber rujukan asal. Terjemahan di bawah ini sudah ditukar kepada bahasa moden yang mengandungi sangat banyak perubahan. Kepada mereka yang boleh membaca Kitab Arab, digalakkan hanya merujuk yang original)

Dan, seperti apa yang telah dihikayatkan.

Telah datang seorang Dahri (Atheis [1]) pada zaman Asy-Syaikh Hammad, iaitu guru kepada Imam Abi Hanifah rah.

Dan, Dahri telah memanggil sekalian ^Ulama untuk berhujah dengannya.

Dahri berkata ;

“Kata kamu, ALLAH itu Wujud.

Bagaimana ALLAH boleh Wujud tanpa bertempat?

Sedangkan, tidak ada sesuatu yang Wujud, melainkan mempunyai tempat!”

Tidak ada sesiapa yang dapat mengalahkan hujah Dahri ini. Maka, beberapa orang pengikut Dahri telah bertanya kepada sekalian manusia ;

“Adakah masih wujud lagi ^Ulama di sisi kamu yang boleh menjawab persoalan kami ini?”

Maka, sahut orang banyak ;

“Ada lagi, iaitu Asy-Syaikh Hammad.”

Maka, berkata Dahri ;

“Hai Khalifah (Amirul Mukminin)!

Datangkan Hammad kepadaku, supaya aku dapat berhujah dengannya!”

Maka, Khalifah pun memanggil Asy-Syaikh Hammad. Dan, Asy-Syaikh Hammad pun berkata ;

“Berikan tempoh kepadaku satu malam!”

Di awal pagi hari, datanglah seorang budak kecil kepada Asy-Syaikh Hammad, nama budak kecil itu ialah Abu Hanifah.

Abu Hanifah melihat gurunya Asy-Syaikh Hammad di dalam keadaan dukacita yang amat.

Maka, bertanya Abu Hanifah kepada gurunya ;

“Apakah yang menyebabkan engkau berdukacita, wahai Guruku?”

Maka, berkata ia ;

“Bagaimana aku boleh tidak berdukacita.

Semalam, Khalifah Amirul Mukminin telah memanggil diriku untuk berhujah dengan Dahri di hadapan sekalian ^Ulama.

Dan, semasa tidurku pula. Aku telah bermimpi dengan sesuatu yang sangat tidak elok.”

Maka, berkata Abu Hanifah ;

“Apakah ia?”

Katanya (Asy-Syaikh Hammad) ;

“Aku bermimpi melihat sebuah negeri yang sangat luas, lagi cantik berhias. Dan, ditengah-tengah negeri itu terdapat sepohon kayu yang berbuah.

Tiba-tiba, muncul dari salah satu penjuru negeri itu seekor babi.

Babi itu datang ke pohon tersebut, dan memakan segala daun dan buah di pohon kayu itu sehingga habis.

Kemudian, babi itu memakan segala cabang-cabang pohon tersebut sehinggakan yang tinggal hanyalah batang pohon itu semata-mata.

Tiba-tiba, keluar dari pangkal pohon kayu itu seekor Singa.

Maka, singa itu pun menangkap babi tersebut dan membunuhnya.”

Maka,  berkata Abu Hanifah ;

 “Allah Ta^ala telah mengajarkan kepadaku Ilmu Ta^bir Mimpi. (Ilmu menerangkan maksud mimpi.)

 Maka, mimpi ini baik bagi kita. Dan, jahat bagi seteru (musuh) kita.

 Jikalau engkau izinkan, aku akan menerangkan maksud mimpi tersebut.”

Maka, berkata Asy-Syaikh Hammad ;

Ta^bir kanlah mimpi itu, wahai Nu^man bin Tsabit (Nama sebenar Abu Hanifah).”

Maka, berkata ia (Abu Hanifah) ;

“Negeri yang luas lagi berhias itu adalah Agama Islam.

Dan, pohon kayu yang berbuah itu ialah ^Ulama.

Dan, pangkal pohon yang tinggal itu ialah engkau, wahai guruku!

Dan, babi itu ialah Dahri.

Dan, Singa yang membunuh babi itu ialah aku.

Berangkatlah sekarang, dan aku akan mengikuti mu. Dengan berkah cita-cita dan kemuliaanmu, aku akan berhujah dengan Dahri.

Dan, aku akan jawab hujahnya.”

Maka, sukalah Asy-Syaikh Hammad dan berjalanlah kedua-duanya menuju ke Masjid Jamek.

Maka, datanglah Khalifah ke Masjid Jamek tersebut, dan berhimpunlah segala manusia pada majlis itu.

Dan, berdiri Abu Hanifah di hadapan kerusi gurunya, sambil memegang kasut gurunya dan juga kasut dirinya.

Maka, datang Dahri dan naik ia di atas mimbar. Dan, berkata ia ;

“Siapa yang akan menjawab soalanku ini?”

Maka, sahut Abu Hanifah ;

“Apakah soalannya? Sila nyatakan!

Orang yang mengetahui akan menjawab soalan kamu itu.”

Maka, berkata Dahriy ;

“Siapakah engkau hai kanak-kanak?

Di sisi aku, terdapat beberapa orang yang mempunyai pakaian kemegahan yang dahsyat-dahsyat, orang yang tua-tua, dan serban yang besar-besar, dan yang mempunyai kain kemegahan yang cantik-cantik, dan tangan baju yang luas-luas.

Semuanya LEMAH untuk mengalahkan hujahku, inikan pula engkau !!!

Sedangkan, engkau ini KECIL dan HINA !!!”

Maka, berkata Abu Hanifah ;

“Allah Ta^ala tidak meletakkan Kemuliaan dan Kebesaran itu kepada orang yang mempunyai serban yang besar-besar, dan kain kemegahan yang dahsyat-dahsyat, dan tangan baju yang luas-luas.

Tetapi, diletakkan kesemua itu ke atas ^Ulama.

Seperti Firman Allah Ta^ala, Surah Mujaadalah, ayat 11 ;

Terjemahan - “… Supaya Allah meninggikan Darjat orang-orang yang Beriman di antara kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan Agama (dari kalangan kamu) beberapa Darjat.”


Maka, berkata Dahri itu ;

“Adakah engkau yang akan menjawab segala soalan ku?”

Maka, kata Abu Hanifah ;

“Bahkan (Sudah tentu) !

Aku akan menjawab soalan engkau dengan Taufiq Allah!!!”

Maka, berkata ia (Dahri) ;

“Adakah Allah itu MAUJUD (Ada) ?”

Maka, jawab Abu Hanifah ;

“Bahkan (Sudah tentu) !”

Berkata ia (Dahri) ;

“Di manakan  Ia (Allah Ta^ala)?”

Kata Abu Hanifah ; 

“TIDAK ADA BAGI-NYA TEMPAT!!!”

(Inilah jawapan Imam Abu Hanifah rah. yang sebenarnya mengenai Kewujudan Allah Ta^ala, iaitu ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT. – Pent.)

Kata Dahri ;

“Bagaimana boleh ALLAH ada, sedangkan tidak ada tempat bagi-Nya?”

Kata Abu Hanifah ;

“Bagi persoalan kamu ini, dalilnya (buktinya) ada pada diri kamu.”

Katanya (Dahriy) ;

“Apakah ia dalilnya?”

Kata ia (Abu Hanifah) ;

“Tidakkah diri kamu ini mempunyai nyawa?”

Maka, katanya (Dahriy) ;

“Bahkan (Sudah tentu) !”

Kata Abu Hanifah ;

“Di manakah tempat roh kamu itu?

Di kepalakah?

Atau, diperut kamukah?

Atau, di kaki kamukah?”


Maka, tercengang ia (Dahriy).

Kemudian, Abu Hanifah meminta diberikan air susu buah. Air susu buah ini dijadikan dalil yang kedua.

Dan, berkata ia (Abu Hanifah) ;

“Bukankah di dalam air susu ini terkandungnya lemak (minyak)?’

Kata Dahriy ;

“Bahkan (Sudah tentu) !”

Kata Abu Hanifah ;

“Di manakah tempatnya?

Di ataskah?

Atau, di bawahkah?”

Maka, tercengang pula Dahriy.


Maka, berkata pula Abu Hanifah ;

“Seperti mana tidak didapati tempat bagi roh di dalam tubuh.

Dan juga, tidak didapati tempat bagi lemak di dalam air susu buah.

Lebih-lebih lagi bagi Allah Ta^ala, tidak didapati tempat bagi diri-Nya di alam ini.”

 ………………………….

(Bukanlah kenyataan di atas ini membawa makna bahawa Allah Ta^ala BERADA di mana-mana, seperti minyak berada di mana-mana di dalam air susu buah, atau roh berada di mana-mana di dalam tubuh badan.

Tetapi, hanya sekadar memberi contoh perbandingan ZAHIR untuk mengalahkan LOGIK AKAL atau MANTIK kaum Atheis. Sedangkan, Imam Abu Hanifah telah pun memberikan jawapan yang sebenarnya iaitu, “Tidak ada bagi-Nya Tempat.

Maka, tamatlah hujah bagi soalan yang pertama. Maka, gagallah Dahriy melawan hujah yang dikeluarkan oleh Abu Hanifah. Dahriy mengeluarkan soalan yang kedua pula! – Pent.)


Kata Dahri ;

“Apakah yang ada sebelum ALLAH?

Dan, apakah yang ada selepas-Nya?

Kata Abu Hanifah ;

“TIDAK ADA SESUATU SEBELUM-NYA.

DAN, TIDAK ADA SESUATU SELEPAS-NYA!”

Kata Dahriy ;

“Adalah sesuatu yang Mustahil dan tidak dapat digambarkan!!!

Bagaimana boleh sesuatu yang Wujud, tetapi tidak ada sesuatu yang sebelumnya, dan tidak ada sesuatu yang selepasnya?”

(Dahri ingin menguji Abu Hanifah dengan mengatakan, bagaimana sesuatu itu boleh ada tanpa ada yang membuatnya atau menjadikannya. Contoh ; wujudnya kerusi. Mestilah ada pembuat kerusi yang mengadakan dan menjadikan kerusi. Mustahil dan tidak tergambar bahawa kerusi boleh mengadakan dirinya dengan sendirinya. – Pent.)

Kata Abu Hanifah baginya ;

“Bagi masalah ini, dalilnya juga ada pada badan kamu.”

Kata ia (Dahriy) ;

“Apa ia?”

Katanya (Abu Hanifah) ;

“Apakah yang ada sebelum ibu jari kamu?

Dan, apakah yang ada selepas jari kelengking kamu?”

Maka katanya (Dahriy) ;

“Tidak ada sesuatu sebelum ibu jari tanganku, dan tidak ada sesuatu selepas jari kelingking ku.”

Maka, kata Abu Hanifah ;

“Jika begitu, lebih-lebih lagi Allah Ta^ala !!!

Tidak ada sesuatu sebelum-Nya.

Dan, tidak ada sesuatu selepas-Nya!”

            ……………………

(Maka, matilah hujah akal Dahri yang kedua. Dahri mengeluarkan lagi hujahnya yang lain. – Pent.)


(Kata Dahri) ;

“Hanya tinggal satu lagi pertanyaan.”

Katanya (Abu Hanifah) ;

“Sila kamu nyatakan, aku akan menjawabnya, Insya Allahi Ta^ala!”

Katanya (Dahriy) ;

“Apa kerja Allah sekarang?”

Kata Abu Hanifah ;

“Untuk pengetahuan engkau, engkau telah membuat sesuatu pekerjaan yang terbalik.

Sepatutnya, orang yang memberikan jawapan berada di atas mimbar.

Manakala, orang yang bertanya pula, berada di bawah mimbar.

Sebaiknya, engkau turun dan aku naik untuk menjawab soalanmu!”

Maka, turun ia (Dahriy), dan naik Abu Hanifah atas Mimbar. Maka, tatkala duduk Abu Hanifah di atas Mimbar.

Maka, Dahriy mengulangi soalannya kembali. Dan, Abu Hanifah pun berkata ;

“Kerja Allah sekarang ini ialah menggugurkan yang Batil (Sesat/rosak),seperti menurunkan kamu daripada atas ke bawah.

Dan, menaikkan yang Haq (Benar), seperti menaikkan aku daripada bawah ke atas.”

Maka, lalu ia (Dahriy) dan putus hujahnya.

………………………..

Berhati-hatilah dengan TIPUDAYA DAN DUSTAAN WAHHABIY (Mujassimah) yang menyatakan bahawa Imam Abu Hanifah rah mengatakan ‘Allah Ta^ala duduk di atas Arasy.’

Kesimpulannya ialah ;

“ALLAH TA^ALA WUJUD TANPA BERTEMPAT”

[1] Atheis adalah satu golongan fahaman yang tidak mempercayai Kewujudan Tuhan.

-------------------------------------------------------------

Kenyataan yang semakna di atas boleh dilihat di dalam Kitab ‘Aqidatun Najin Fi ‘Ilmi Usuliddin, bagi Al-’Alim Al-’Allamah Asy-Syaikh Zainul ‘Abidin bin Muhammad Al-Fathani, ms 7 hingga 9, baris 9 dari bawah.





..................................................

WAJIB SAMPAIKAN DAN SEBARKAN !!!

Semoga Allah Ta^ala sahaja yang dapat membalas JASA kalian kerana menyebarkan dan menyampaikannya kepada Sahabat-sahabat yang lain.



Pendapat Para Ulama’ SALAF DAN KHALAF mengenai Peringatan Maulid Nabi



Paca pembaca, sebelum kita membahasakan secara terperinci dalil peringatan Maulid Nabi, mari kita lihat pendapat para Ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah terhadap peringatan maulid nabi tersebut.

Firman Allah ta`ala:



"فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْمَلُوْنَ".

Maksudnya:



"Maka bertanyalah kepada ahli zikir (orang yang mempunyai ilmu) jika kamu tidak mengetahui"



(Surah al-Nahl: 43 dan Surah al-Anbiya’: 7)



Perintah untuk bertanya kepada ahli zikir yakni ulama’ yang berilmu dan ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang bertaqwa dan mengamalkan ilmunya, ternyata disuruh oleh Allah ta`ala seperti yang dinyatakan di dalam al-Quran. Ini membuktikan bahawa pendapat para ulama’ sangata penting, sebab mereka adalah pewaris para nabi. Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:



"إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ".



Maksudnya:

"Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar mahupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya, ia telah mengambil bahagian yang sangat banyak"



(Diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad)



Pembaca yang dikasihi sekalian, para ulama’ yang pendapatnya kami nukilkan di dalam artikel ini adalah ulama’ pilihan yang kesalehannya telah dikenal di seluruh dunia. Mereka adalah orang yang sangat takut kepada Allah. Semoga dengan membaca dan melihat pendapat mereka, hati kita terbuka untuk memahami mengenai peringatan maulid Nabi dengan benar. Amiin Ya Rabb.



PENDAPAT ULAMA’ AL-SALAF AL-SALEH



PENPAPAT AL-IMAM HASAN AL-BASRI[1]



Al-Imam Hasan al-Basri[2] adalah seorang tabi`in yang lahir di kota Madinah pada dua tahun terakhir pemerintahan Khalifah `Umar bin Khattab radiyallahu`anhu suatu ketika dahulu bahkan Khalifah `Umar radiyallahu`anhu mendoakan beliau dengan doannya berikut:



"اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَحَبِّبْهُ إِلَى النَّاسِ".

Maksudnya:

"Ya Allah jadikan dia sebagai orang yang memiliki kefahaman terhadap agama dan dicintai oleh masyarakat"

Kecerdasan dan kesalehan al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu menarik perhatian para sahabat sehingga mereka pun memberikan tempat terhormat kepada beliau. Sayyiduna Anas bin Malik radiyallahu`anhu berkata:[3]

“Bertanyalah kepada al-Hasan, kerana dia masih ingat sedangkan kami telah lupa”.



Demi melaksanakan anjuran sahabat yang selama 10 tahun menjadi pembantu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ini, mari kita lihat bagaiman pendapat al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu terhadap peringatan maulid Nabi. Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu mengatakan:[4]



"وَدِدْتُ لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا لأَنْفَقْتُهُ عَلَى قَرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ".



Maksudnya:

"Andai kata-kataku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan semunya untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul"



Ucapan al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu di atas menunjukkan bahawa para tabi`in menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kelahiran Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Bagaimana tidak, beliau rela mendermakan seluruh hartanya demi menyelenggarakan pembacaan sejarah kelahiran Nabi sallallahu`alaihi wasallam. Jadi bagimana pula dengan kita????



Sudahkah kita dermakan sebahagian harta kita demi memuliakan hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam? Sungguh menghairankan, jika untuk memuliakan dan mengenang harij jadi organisasi, hari jadi perusahaan, hari jadi keluarga, hari jadi anak kita, hari perkahwinan, kita rela mengeluarkan jumlah harta yang banyak. Tetapi untuk mengenangkan kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ada sebahagian kita yang merasakan keberatan dan enggan untuk mendermakan sebahagian hartanya. Semoga Allah memberi kita taufiq dan hidayah. Amiin ya Rabb.



PENDAPAT AL-SYEIKH MA`RUF AL-KARKHI (W. 200 H)



Al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah adalah seorang ahli sufi terkemuka. Cerita tentang kesalehan beliau sangat banyak dan salah satunya adalah kekuatan prasangka baik beliau kepada sesama Muslim.

Suatu hari ketika beliau sedang berpuasa sunat, al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah berjalan melawat seorang yang membahagi-bahagikan air secara hebat. Dengan suara lantang lelaki itu berkata:



“Semoga Allah merahmati orang yang mahu minum air ini”.



Mendengar ucapannya, al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah berhenti dan meminum air tersebut. Kemudian tanya seorang lelaki kepadanya:



“Bukankah engkau sedang berpuasa?”



Jawab beliau:



“Benar, akan tetapi aku berharap mendapatkan rahmat Allah sebagaimana doa lelaki tersebut”.[5]



Cuba anda perhatikan keluasan ilmu al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah, beliau berpuasa sunat tiada lain adalah demi mendapatkan rahmat Allah ta`ala. Ketika mendengar seseorang menjanjikan rahmat Allah dengan seteguk air, maka beliau pun segera meminumnya. Beliau percaya dan yakin bahawa Allah akan mengkabulkan doa lelaki tersebut. Ini merupakan sebuah bukti kesucian hati beliau.



Ucapan yang muncul daripada hati manusia yang berjiwa mulia seperti ini tentu tidak sama dengan ucapan seseorang yang belum diuji kesalehannya.



Al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah sangat mengambil berat mengenai majlis maulid Nabi. Salam salah satu nasihatnya, beliau mengatakan:[6]



"مَنْ هِيَّأَ لأَجْلِ قَرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ طَعَامًا، وَجَمَعَ إِخْوَانًا، وَأَوْقَدَ سِرَاجًا، وَلَبِسَ جَدِيْدًا، وَتَعَطَّرَ وَتَجَمَّلَ، تَعْظِيْمًا لِمَوْلِدِهِ، حَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الْفِرْقَةِ الأَوْلَى مِنَ النَّبِيِّيْنَ، وَكَانَ فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ".



Maksudnya:

"Barangsiapa menyediakan makanan, mengumpulkan teman-teman, menyiapkan lampu, memakai pakaian baru, memakai wangian dan menghias dirinya untk membaca dan mengagungkan maulid Rasul, maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkannya bersama para Nabi, orang-orang yang berada di dalam barisan pertama. Dan dia akan ditempatkan di `Illiyyin yang tertinggi"



Saudarku yang dirahmati sekalian, kenyataan al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi di atas telah disampaikan lebih 1200 tahun yang lalu. Disebabkan itu, sungguh pelik jika dikatakan para ulama’ al-Salaf al-Saleh tidak menyuruh seseorang itu untuk memuliakan dan menyambut maulid nabi sallallahu`alaihi wasallam. Bentuk peringatan mereka mungkin agak berbeza dengan peringatan kita dewasa ini, akan tetapi isinya tetap sama iaitu memuliakan kelahiran Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam.



PENDAPAT AL-SYEIKH SIRRI AL-SAQATHI (W. 253 H)



Al-Syeikh Sirri al-Saqathi adalah guru kepada al-Syeikh al-Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di samping itu, beliau juga merupakan murid Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah. Kesalehan dan kegigihan al-Syeikh Sirri al-Saqathi rahimahullah dalam beribadah tidak dinafikan lagi. Al-Syeikh al-Imam al-Junaid rahimahullah berkata:[7]



“Aku tidak melihat seseorang yang lebih hebat ibadahnya daripada Sirri, selama 98 tahun beliau tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit menjelang wafatnya”.



Ertinya, al-Syeikh Sirri al-Saqathi rahimahullah sentiasa beribadah kepada Allah ta`ala, siang mahupun malam. Jika harus tidur, itupun beliau lakukan dalam keadaan duduk, sehingga wudhuknya tidak terbatal.

Sebagaimana guru, al-Syeikh Sirri al-Sqathi rahimahullah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peringatan maulid Nabi. Beliau mengatakan:[8]



"مَنْ قَصَدَ مَوْضِعًا يُقْرَأُ فِيْهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ فَقَدْ قَصَدَ رَوْضَةً مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ لأَنَّهُ مَا قَصَدَ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ إِلا لِمَحَبَّةِ الرَّسُوْلِ. وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلامُ: مَنْ أَحَبَّنِيْ كَانَ مَعِيْ فِي الْجَنَّةِ".



Maksudnya:

"Barangsiapa pergi ke sebuah tempat di mana di sana dibacakan mauled Nabi, maka dia telah berada di sebuah syurga, kerana tujuannya pergi ke tempat itu tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, sedangkan Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam telah bersabda: Barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di syurga"



Cuba kita perhatikan dengan teliti, beliau menyatakan bahawa seseorang yang duduk di tempat pembacaan maulid Nabi demi cintanya kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bererti dia sedang duduk di taman Syurga. Kenyataan al-Syeikh Sirri al-Saqathi di atas diucapkan selepas beliau mendalami al-Quran dan al-Hadith serta mengamalkannya. Sekarang terpulang kepada anda, sama ada mahu mengikut pendapat ulama’ yang kami kemukakan atau mahu mengikut pandagan golongan-golongan yang sesat seperti wahhabi yang mengharamkan dan membid`ahkan maulid dan kesalehan mereka juga belum diuji.





PENDAPAT AL-SYEIKH AL-JUNAID AL-BAGHDADI (W. 297 H)



Al-Imam al-Junaid rahimahullah, dikenali sebagai pemimpin para sufi. Semenjak kecil tanda-tanda kesalehan beliau telah tampak pada diri beliau. Beliau tekun belajar dan beribadah hingga dalam usia yang masih sangat muda iaitu 20 tahun, beliau telah mendapat kepercayaan untuk menjadi mufti[9] pada usia yang begitu muda[10].

Setiap hari, al-Imam al-Junaid berniaga di kedainya. Di sana, beliau bukan hanya berniaga bahkan beberapa riwayat mengatakan bahawa setiap kali al-Syeikh al-Junaid memasuki kedainya, maka dia mengerjakan solat sunat sebanyak 400 rakaat[11].



Sebagaimana pendahuluanya, al-Imam Junaid al-Bagdhdadi rahimahullah sangat memuliakan maulid Nabi. Beliau mengatakan:



"مَنْ حَضَرَ مَوْلِدَ الرَّسُوْلِ وَعَظَّمَ قَدْرَهُ فَقَدْ فَازَ بِالإِيْمَانِ".



Maksudnya:

"Barangsiapa menghadiri mauled Rasul dan mengagungkan (memuliakan) kedudukannya, maka dia telah Berjaya dengan keimanan"



Cuba anda perhatikan, al-Syeikh al-Junaid al-Baghdadi menjadikan semangat untuk memuliakan maulid nabi sebagai kayu ukur iman.seseorang yang sempurna imannya akan menghadiri, memuliakan dan mengagungkan peringatan maulid nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam.



PENDAPAT ULAMA’ KHALAF



PENDAPAT AL-SYEIKH `ABDULLAH AS`AD AL-YAFI`I



Al-Syeikh `Abdullah bin As`ad al-Yafi`i rahimahullah merupakan seorang ulama’ terkemuka dalam dunia Islam. Karya beliau sangat banyak, salah satunya adalah Raudh al-Rayyahin. Sebagai seorang yang pakar mengenai sejarah Islam, beliau sangat meneliti sejarah kehidupan baginda Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Oleh itu, kerana menjawab persoalan maulid, beliau berkata:



"مَنْ جَمَعَ لِمَوْلِدِ النَّبِيِّ إِخْوَانًا وَهِيَّأَ طَعَامًا وَأَخْلَى مَكَانًا وَعَمِلَ إِحْسَانًا وَصَارَ سَبَبًا لِقِرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ بَعَثَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَكُوْنُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ".



Maksudnya:

"Barangsiapa mengumpulkan teman-temannya, mempersiapkan hidangan, menyediakan tempat, melakukan kebaikan untuk maulid Nabi dan semua itu menjadi sebab pembacaan maulid Rasul, maka di hari kiamat kelak Allah akan membangkitkannya bersama orang-orang yang siddiq, para syuhada dan kaum solihin. Dan kelaik ia akan berada di syurga-syurga yang penuh kenikmatan".



Wahai saudaraku, cuba anda perhatikan kenyataan beliau rahimahullah di atas. Sebagai orang yang merindukan syurga, apakah kita tidak ingin memakmurkan dan membuat majlis maulid Nabi?



PENDAPAT AL-HAFIZ ABU BAKAR BIN `ABD AL-RAHMAN AL-SUYUTHI (W. 911 H)



Al-Imam al-Suyuthi merupakan salah seorang ulama besar yang lahir pada bulan Rejab 849 Hijrah. Keluasan ilmu beliau telah terbukti dengan berbagai karya karangan beliau lebih daripada 400 buah kitab. Di samping itu, beliau menghafal al-Quran, beliau juga menghafal beberapa kitab besar seperti al-Minhaj karangan al-Imam Nawawi[12] dan juga al-`Umdah. Beliau juga disebut-sebut sebagai mujaddid iaitu pembaharuan pada abad ke-9 hijrah.

Dalam himpunan fatwanya, al-Jafiz al-Suyuthi menulis satu bab khusus yang menjelaskan keutamaan peringatan maulid nabi. Di bawah ini kami nukilkan dua kenyataan beliau, insya Allah akan membangkitkan semangat kita untuk memuliakan hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Beliau ditanya mengenai hukum menyambut maulid, maka beliau berkata:[13]



"عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ".



Maksudnya:

"Menurutku, isi peringatan daripada peringatan Maulid Nabi adalah berkumpulnya masyarakat, pembacaan sebahagian ayat al-Quran, pembacaan riwayat yang menjelaskan awal perjuangan Nabi sallallahu`alaihi wasallam dan berbagai peristiwa besar yang terjadi saat kelahiran baginda, penyajian maknana kepada hadirin dan mereka pun menyantap dan kemudian pergi tanpa melakukan perbuatan lain. Perbuatan seperti ini merupakan sebuah bid`ah hasanah yang pelakunya akan mendapat pahala. Sebab, di dalam peringatan maulid itu terdapat perbuatan permuliaan Nabi dan mewujudkan rasa senang dan bahagia atas kelahiran baginda sallallahu`alaihi wasallam yang mulia".



Di dalam kesempatan yang lain, beliau juga mengatakan:[14]



"وَمَا مِنْ مُسْلِمٍ قُرِىءَ فِيْ بَيْتِهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ إِلا رَفَعَ اللهُ تَعَالَى الْقَحْطَ وَالْوَبَاءَ وَالْحَرْقَ. وَالآفَاتِ وَالْبَلِيَّاتِ وَالنَّكَبَاتِ وَالْبَغْضَ وَالْحَسَدَ وَعَيْنَ السُّوْءِ وَاللُّصُوْصَ عَنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْبَيْتِ، فَإِذَا مَاتَ هَوَّنَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ جَوَابَ مُنْكَرَ وَنَكِيْرَ، وَكَانَ فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُقْتَدِرٍ".



Maksudnya:

"Tidaklah sebuah rumah Muslim dibacakan maulid nabi padanya melainkan Allah singkirkan kelaparan, wabak penyakit, kebakaran, berbagai jenis bencana, kebencian, kedengkian,pandangan buruk, serta pencurian daripada penghuni rumah itu dan jika ia meninggal dunia, maka Allah memberinya kemudahan untuk menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Dan dia kelak akan berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa".



PENDAPAT AL-SYEIKH AL-ISLAM AL-KHATIMAH AL-HUFFAZH AMIR AL-MU’MININ FI AL-HADITH, AL-IMAM AHMAD IBN HAJAR AL-`ASQALANI (W. 852 H).



Al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:



"أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً". وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ".



Maksudnya:

“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukikanl daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.


PENDAPAT AL-IMAM AL-HAFIZH AL-SAKHAWI



Al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:



"لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ "بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ".



Maksudnya:

“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Isnin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .





PENDAPAT AL-SYEIKH AL-SAYYID AHMAD ZAINI DAHLAN (W. 1304 H)



Telah berkata al-Syeikh al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (W. 1304 H) di dalam kitabnya Sirah al-Nabi, merupakan Mufti Besar Mazhab Syafi`e di Makkah:[15]



"جَرُتِ الْعَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا الْقِيَامُ مُسْتَحَبُّ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرُ مِنْ عُلَمَاءِ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يُفْدَى بِهِمْ".



Maksudnya:

"Telah berlaku kebiasaan, bahawa orang apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, maka ketika Nabi lahir itu mereka berdiri bersam-sama untuk menghormat dan membesarkan Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Berdiri ini adalah suatu perbuatan yang baik kerana dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam dan sesungguhnya telah mengerjakan perbuatan seperti itu dikalangan daripada ulama’-ulama’ ikutan ummat".

Al-Syeikh al-Sayyid Zaini Dahlan berpendapat bahawa mengadakan maulid Nabi dengan membaca kisah-kisah baginda dan berdiri ketika sampai pembacaan pada lahirnya Nabi adalah suatu perbuatan yang baik.

Sayyid Zaini Dahlan merupakan Mufti Besar Mazhab Syafi`e di Makkah (W. 1304 H), di antara kitab karangan beliau adalah:

1. Al-Futuh al-Islamiyyah.
2. Tarikh Daulah al-Islamiyyah.
3. Al-Durar al-Saniyyah Fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah.



PENDAPAT AL-SYEIKH AL-HALABI



Telah berkata al-Syeikh al-Halabi mengenai maulid di dalam kitab Sirahnya:[16]



"قَالَ الْحَلَبِيُّ فِي السِّيْرَةِ فَقَدْ حَكَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الإِمَامَ السُّبْكِيَّ اجْتَمَعَ عِنْدَهُ مِنْ عُلَمَاءِ عَصْرِهِ فَأَنْشَدَ مُنْشِدُهُ قَوْلَ الصَّرْصَرِيِّ فِيْ مَدْحِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعِنْدَ ذَلِكَ قَامَ الإِمَامُ السُّبْكِيُّ وَجَمِيْعُ مَنْ بِالْمَجْلِسِ".



Maksudnya:

"Berkata al-Halabi di dalam kitab Sirah: Telah dikhabarkan bahawa di hadapan al-Imam al-Subki pada suatu kali ketika berkumpul ramai ulama’-ulama’ pada zaman itu. Kemudian salah seorang daripada mereka membaca perkataan Sarsari dalam memuji Nabi. Pada ketika itu al-Imam al-Subki dan sekalian ulama’ yang hadir berdiri bagi menghormati Nabi".

Al-Imam Taqiyyuddin al-Subki rahimahullah adalah asalah seorang ulama’ besar dalam mazhab Syafi`e, beliau adalah pengarang kitab “Takmilah al-Majmu`” iaitu sambungan daripada kitab “al-Majmu` Syar al-Muhazzab” karangan al-Imam al-Nawawi.



Anak beliau juga merupakan seorang ulama’ besar iaitu Tajuddin al-Subki (W. 657 H) pengarang kitab “Jam`u al-Jawami`”, kitab usul fiqh besar yang telah diguna pakai oleh dunia Islam di dalam mempelajari usul fiqh.

Beliau juga berpendapat bahawa berdiri ketika mendengar kisah Nabi dilahirkan adalah suatu pekerjaan yang baik demi menghormati Nabi.



PENDAPAT AL-IMAM ABU SYAMAH



Telah berkata al-Imam Abu Syamah mengenai maulid Nabi:[17]



"وَمِنْ اَحْسَنِ مَا ابْتُدِعَ فِيْ زَمَنِنَا مَا يُفْعَلُ كُلُّ عَامٍ فِي الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوْفِ وَإِظْهَارِ الزِّيْنَةِ وَالسُّرُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيْهِ مِنَ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ مُشْعِرٌ بِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعْظِيْمِهِ فِيْ قَلْبِ فَاعِلِ ذَلِكَ وَبِشُكْرِ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَا مَامَنَّ بِهِ مِنْ إِيْجَادِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْن".



Maksudnya:

"Suatu hal yang baik ialah apa yang dibuat tiap-tiap tahun, bersetuju dengan hari maulid Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam, memberi sedekah, membuat kebajikan, melahirkan kegembiraan dan kesenangan, maka hal itu selain berbuat baik bagi fakir miskin, juga mengingatkan kita untuk mengasihi junjungan kita Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam, membesarkan baginda dan bersyukur kepada Tuhan atas kurniaan-Nya yang telah mengirim Rasul bagi kebahagiaan seluruh makhluk".



Al-Imam Abu Syamah adalah seorang ulama’ besar dalam mazhab Syafi`e. Beliau hidup pada abad ke-VII Hijrah dan beliau adalah guru dari al-Imam al-Nawawi.



Beliau berpendapat bahawa:

1. Merayakan maulid Nabi dengan suatu perayaan dengan perbanyak sedekah dan bakti pada hari maulid dan melahirkan kegembiraan atas maulid Nabi adalah suatu “bid`ah hasanah/baik” iaitu sesiapa yang mengerjakannya akan mendapat pahala.
2. Mengadakan perayaan maulid Nabi adalah manifestasi daripada kecintaan kita kepada Nabi kita Muhammad sallallahu`alaihi wasallam.

Daripada pendapat ulama’-ulama’ Ahlussunnah Waljama`ah, dapatlah suatu keterangan yang jelas kepada kita semua iaitu bid`ah terbahagi kepada dua bahagian:

1. Bid`ah Hasanah iaitu suatu perkara yang dilakukan dan ia belum pernah dilakukan oleh Nabi di zamannya tetapi ia adalah perbuatan baik, berfaedah, untuk umum dan berfaedah kepada masyarakat.

Seperti pembinaan sekolah agama, mengarang buku-buku agama, mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf, membina Universiti-universiti Islam, mengarang kitab-kitab hadith, semuanya belum ada pada zaman Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tetapi perbuatan tersebut baik pada agama dan untuk masyarakat.

Perayaan maulid Nabi memang tidak di zaman anabi tetapi ia sangat baik untuk disambut kerana ia dapat membangkitkan rasa cinta kepada Nabi, mengasihi Nabi, mengenang perjuangan Nabi, mencontohi akhlak Nabi dan sebagainya. Maka hal itu adalah bid`ah hasanah iaitu bid`ah yang baik dan sesiapa mengerjakannya akan mendapat pahala.

1. Bid`ah Sayyi`ah, iaitu bid`ah yang buruk dan keji dan barangsiapa melakukannya akan mendapat dosa seperti sembahyang dalam bahasa melayu, azan dalam bahasa melayu dan sebagainya.

Kesimpulannya, saudara-saudaraku boleh melihat kenyataan-kenyataan ulama’-ulama’ Islam generasi Tabi`in sehinggalah ulama’ mutaakhirin seperti di atas dan masih banyak lagi yang kami tidak sempat untuk menukilkan, hanya sekadar ini sahaja daripada kami. Semua ulama’-ulama’ generasi tabi`in dan mutaakhirin setuju dan menggalakkan pembacaan maulid Nabi yang merupakan salah satu bentuk peringatan Maulid Nabi.



Kepada saudara-saudarku sekalian, sebenarnya pendapat mereka sudah cukup kuat untuk dijadikan dalil bagi kita untk mencontohi dan meneladani mereka, akan tetapi demi memuaskan dahaga para penuntut ilmu, marilah kita sama-sama pelajarinya dengan baik sumber-sumber hukum peringatan maulid Nabi tersebut secara lebih terperinci agar ia menjadi benteng AHLUSSUNNAH WALJAMA`AH di generasi kita dan generasi yang akan datang.

Semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk menerima kebenaran sebagai sebuah kebenaran dan kemudian bersedia mengikutinya dengan senang hati. Amiin Ya Rabb.







[1] Ahmad bin Zain al-Habsyi (1987), Syarh al-`Ainiyyah, Singapura: Kerjaya, cet. 1, h. 29-30.



[2] Al-Imam Hasan al-Basri merupakan salah seorang tabi`in yang agung. Ayah beliau adalah budak Zaid bin Thabit al-Ansari radiyallahu`anhu dan ibunya bernama Khariyyah adalah budak Ummu Salamah radiyallhu`anha. Beliau dilahirkan pada 2 tahun terakhir sebelum wafatnya Khalifah `Umar al-Khattab radiyallahu`anhu. Beliau sempat bertemu sekurang-kurangnya 100 orang sahabat Nabi sallallahu`alaihi wasallam. Beliau wafat pada bulan Rejab 116 hijrah dalam usia 89 tahun. Kenyataan di bawah ini adalah salah satu ungkapan hikmah beliau:



“Sesungguhnya, ketika seseorang melakukan perbuatan baik, ia akan membuat hatinya bercahaya dan tubuhnya kuat. Sedangkan ketika seseorang itu melakukan perbuatan buruk, ia akan membuatkan hatinya menjadi gelap dan tubuhnya menjadi lemah”





[3] Al-Zahabi (t.t.), Siyar A`lam Nubala’, Beirut: Dar al-Fikir, j. 3, h. 410.



[4] Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anath al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 255.



[5] Abu al-Qasim `Abd al-Karim bin Hawazin (t.t), al-Risalah al-Qusyairiyyah, (t.tp): Dar al-Khair, h. 427-428.



[6] Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 255.



[7] Abu al-Qasim `Abd al-Karim bin Hawazin (t.t), al-Risalah al-Qusyairiyyah, (t.tp): Dar al-Khair, h. 417-418.



[8] Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 255.



[9] Mufti ialah orang yang dapat mengeluarkan fatwa dalam berbagai permasalahan agama kerana keluasan dan ketinggian ilmunya serta keluhuran budinya.



[10] Abu al-Qasim `Abd al-Karim bin Hawazin (t.t), al-Risalah al-Qusyairiyyah, (t.tp): Dar al-Khair, h. 430.



[11] Ibid, 430.



[12] Al-Imam al-Nawawi rahimahullah nama asalnya ialah Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Lahir di Nawa pada bulan Muharram 631 hijrah. Sejak kecil lagi beliau telah menghafal al-Quran. Pada tahun 649 hijrah. Beliau menuntut ilmu di Dimaskus. Selama dua tahun di sana, beliau tidak pernah tidur berbaring. Beliau tidur dengan duduk. Dalam waktu empat bulan setengah, beliau telah menghafal kitab al-Tanbih. Kitab-kitab karangan beliau sangat banyak seperti Ridayus al-Salihin yang telah tersebar ke seluruh penjuru dunia dan banyak di baca di tanah air kita. Beliau wafat pada 24 Rejab 676 hijrah di Nawa dalam usia 45 tahun. (Lihat Faruq Hamadah (t.t.), Dalil al-Raghibin Ila Riyad al-Salihin, (t.tp): Dar al-Thaqafah, cet 1, h. 10-12.



[13] `Abd al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi (t.t), al-Hawi Li al-Fatawi, (t.tp): Dar al-Fikir, j. 1, h. 221-222.



[14] Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 255.



[15] Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anath al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 363.



[16]Ibid, h. 364.



[17]Ibid. 364.




أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعاء
"Paling dekat hamba dengan tuhannya adalah ketika dia (hamba itu) sedang sujud, maka perbanyakkanlah doa (ketika itu)"
[Sahih Muslim #482. Sunan Abi Dawud #875. Sunan an-Nasa'i #1136]



Rasulullah pesan,,,
jangan kamu tidur sebelum witir...
jangan kamu tidur sebelum kamu qatam al-quran....
jangan kamu tidur sebelum kamu mengerjakan umrah...
jangan kamu tidur sebelum kamu selawat keatasku....(^_^)



Nabi pernah bersabda
"Dunia itu penjara bagi mukmin dan syurga bagi kafir"
Banyak kemahuan kita terbatas, ketahuilah bahawa batasan itulah yang memberi kebahagian di alam yang kekal nanti.


docs.google.com
‎1.Sering membid’ahkan amalan umat Islam bahkan sampai ke tahap mengkafirkan mereka 2.Mengganggap diri sebagai mujtahid atau berlagak sepertinya (walaupun tidak layak) 3.Sering mengambil hukum secara langsung dari al-Quran dan hadis (walaupun tidak layak) 4.Sering memperlekehkan ulama’ pondok dan gol


an-nawawi.blogspot.com
‎| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |__________________________________________________________________________________





antiwahabi.com
“al-Ahbash atau (Jam’iyyah al-Masyari’ al-Khairiyyah al-Islamiyyah) mereka adalah anak-anak murid al-Syeikh Abdullah al-Harari. Mereka memiliki jalan tersendiri dalam perkara akidah yang menjadikan mere[...]




hafizfirdaus.com
Hafiz Firdaus Abdullah - Islam Untuk Semua - al-firdaus.com - hafizfirdaus.com | Hafiz Firdaus Abdullah |


soaljawab.wordpress.com
Saya musykil apakah benar sifat 20 (sifat wajib bagi Allah S.W.T) ini wajib dipelajari oleh setiap umat Islam, padahal tiada nas dan hadis pun mengenai sifat 20. Malah melalui Laman Web Suara Persatuan Ulama, menyebut sifat 20 ini hanyalah sebagai salah satu cara utk mengenal Allah S.W.T dan banyak


din86.blogspot.com
Meninjau kembali sejarah dan liku-liku perjuangan Prof Dr Yusuf al-Qardhawi, seseorang itu pasti akan menimba pelajaran yang sangat besar dari tokoh besar ini. Kehidupannya yang penuh dengan ilmu dan dakwah, membentuk diri beliau sebagai seorang sarjana dan ilmuan islam yang disegani pada zaman ini.


www.zaharuddin.net
Zaharuddin.net


abusalma.wordpress.com
Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abd


Kerajaan Arab Saudi turut membantu dalam proses penghantaran pulang penuntut Malaysia yang dibawa keluar dari Mesir dan kini sedang ditempatkan di pusat transit Madinatul Hujaj di Jeddah.

Menteri di Jabatan Perdana Menteri Datuk Seri Jamil Khir Baharom berkata kerajaan Arab Saudi telah bersetuju membenarkan dua pesawat milik Saudi Airlines digunakan bagi membantu mempercepatkan proses membawa pelajar pulang ke tanah air.

"Kerajaan Arab Saudi telah bermurah hati memberi kita penerbangan ihsan menggunakan dua buah pesawatnya jenis 747 iaitu jumbo jet Saudi Airlines," katanya kepada Bernama di Jeddah.

Sementara itu, beliau berkata penerbangan sulung dari Jeddah menggunakan pesawat Malaysia Airlines (MAS) Boeing 747 yang membawa kumpulan pertama 450 pelajar dijangka berlepas petang ini dan dijangka tiba di KLIA, Isnin.

Beliau berkata sehingga kini seramai 3,615 orang pelajar telahpun berada di Madinatul Hujaj dan akan dihantar pulang secara berperingkat-peringkat.

Sementara itu, Setiausaha Politik Perdana Menteri Datuk Shahlan Ismail memuji sikap penuntut Malaysia yang sentiasa bersabar dan penuh disiplin dalam operasi memindahkan mereka daripada Kaherah ke Jeddah.

Katanya, sememangnya perkara membawa keluar baki 9,000 penuntut Malaysia di Mesir ke Jeddah bukanlah satu perkara mudah dan ia memerlukan perancangan yang teliti.

"Saya juga melihat pelajar kita berani dan dengan kebijaksanaan, mereka berjaya melepasi sekatan yang dibuat bukan oleh tentera atau polis tetapi orang awam (untuk ke lapangan terbang Kaherah).

"Ada juga makanan yang kita bawa untuk pelajar kita di lapangan terbang dirampas sebanyak tiga kali. Tetapi akhirnya, kita mencari jalan-jalan lain yang dapat melepasi sekatan dan kita berjaya. Sebenarnya inilah cabaran kita kerana ia bukan berada di bawah kawalan kita," katanya.

Di KANGAR, Menteri Besar Perlis Datuk Seri Dr Md Isa Sabu berkata 64 daripada 129 penuntut negeri itu yang sedang menuntut di Mesir telah dipindahkan ke Jeddah, Arab Saudi, Khamis lepas.

Beliau berharap ibu bapa penuntut terbabit supaya sentiasa mengikuti perkembangan anak-anak mereka melalui stesen Radio Perlisfm yang melaporkan perkembangan terkini di Mesir melalui temu bual dengan Yang Dipertua Persatuan Pelajar Perlis di Mesir Syed Aisam Syed Idris yang masih berada di Kaherah.


 
Oleh : Mufti Perak

Pada minggu lepas, saya berkesempatan menyampaikan ucaptama sempena Seminar Fiqh Awlawiyyat anjuran bersama Jabatan Agama Islam Perak dan Persatuan Ulama Malaysia Cawangan Perak. Seminar tersebut memberi ruang kepada saya untuk menampilkan beberapa idea dan pendekatan yang telah lama saya uar-uarkan kepada masyarakat sebagai rujukan umat Islam seluruhnya.

Dalam hal ini, ulama tersohor Dr. Yusuf al-Qaradawi memberikan takrif Fiqh Awlawiyat sebagai "menetapkan sesuatu pada martabatnya, tidak mengkemudiankan apa yang perlu didahulukan atau mendahulukan apa yang berhak dikemudiankan, tidak mengecilkan perkara yang besar atau membesarkan perkara yang kecil."

Firman Allah S.WT. di dalam surah Al-Taubah ayat 19 mafhumnya:

Adakah kamu sifatkan hanya perbuatan memberi minum kepada orang-orang yang mengerjakan Haji, dan (hanya perbuatan) memakmurkan Masjid Al-Haram itu sama seperti orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat serta berjihad pada jalan Allah? Mereka (yang bersifat demikian) tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan hidayah petunjuk kepada kaum yang zalim.

Ketika ini umat Islam telah hilang punca asas pertimbangan dalam menilai keutamaan daripada sekecil-kecil perkara hingga sebesar-besarnya. Kehilangan punca bukan sahaja meliputi masyarakat umum, bahkan para cendiakawan dan cerdik pandai serta para pemimpin sendiri pun adakalanya menghadapi permasalahan dalam menentukan keutamaan sesuatu perkara.

Bagi para remaja contohnya lebih menekankan hal-hal berkaitan dengan sukan dan hiburan sebagai matlamat hidup mereka daripada mendahulukan diri dengan mengejar ilmu pengetahuan. Yang sepatutnya disanjung bukan lagi golongan ilmuwan atau intelek. Tetapi ahli sukan dan artis-artis diangkat dan dicontohi sebagai idola. Hari ini hiburan diutamakan daripada pendidikan. Lebih banyak majalah hiburan berbanding majalah yang mendidik masyarakat di pasaran. Begitu dengan program televisyen didominasi oleh rancangan hiburan yang menjadi sajian dan "makanan harian" yang dipertonton dan diprogramkan kepada masyarakat. Jika ada rancangan yang mendidik masyarakat ia tidak disiarkan pada waktu perdana, tetapi larut malam mahupun awal pagi. Islam tidak melarang hiburan, namun keutamaan hiburan tidak boleh dilebihkan daripada pendidikan sehingga masyarakat lalai dengan hiburan. Fenomena tersebut jelas membuktikan kejahilan masyarakat terhadap dimensi prioriti yang sedia ada dalam Islam.

Dalam amalan ibadat pula masyarakat kita masih sibuk membahaskan aspek khilafiah yang tidak akan berkesudahan. Dalam rancangan soal-jawab di radio yang dihadiri oleh saya, soalan-soalannya masih berkisar tentang masalah meninggalkan qunut, bidaah mengadakan tahlil, talqin yang merupakan masalah furu' dan khilafiah. Sedangkan kita berdepan dengan masalah riba yang terang-terang haram dalam kewangan dan insurans kita. Termasuk juga masalah perpecahan umat yang pada pengamatan saya perlu kepada usaha yang gigih terutamanya para umara dan ulama bagi menyatupadukan masyarakat Islam terutamanya umat Melayu.

Bijak pandai

Di kalangan bijak pandai tidak kurang juga berhadapan dengan kecelaruan pemikiran dalam memahami keutamaan sesuatu perkara. Bila saya menekuni isu-isu mutakhir ini termasuk kelulusan Kabinet terhadap penubuhan jawatankuasa antara agama, saya mengharapkan agar para ulama bersama-sama menyumbang idea dan pemikiran membantah penubuhan jawatankuasa tersebut. Akan tetapi pada masa yang sama kita disibukkan dengan boleh atau tidak meminum atau menyapu air ludah ustaz yang tidak pasti sama ada ia berlaku atau tidak. Secara prinsipnya, saya tidak menghalang aduan tersebut, namun ketika masyarakat Islam menghadapi tuntutan yang pelbagai yang dikhuatiri merendahkan martabat Islam, kita disibukkan dengan isu-isu yang bukannya tidak penting, akan tetapi ada lagi perkara yang lebih penting dari itu.

Begitu juga kita masih tertinggal di belakang terutama dalam menguasai segala jenis ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Akhirnya disebabkan kejahilan kita dan kelemahan para ulama dan umara, maka Islam terus menerus lemah dan ketinggalan sehinggakan ruang yang diberikan Allah Taala dalam bidang fiqh seperti ijtihad dan hukum, terus beku serta hilangnya kedinamikan syariat Islam yang sebenarnya boleh melumpuhkan penyebaran Islam itu sendiri, seperti yang berlaku pada dunia Islam hari ini.

Dilihat dalam soal beribadah, masyarakat lebih menumpukan kepada ibadat sunat dari ibadat fardu. Manakala jka dilihat dari sudut berhubung dengan nilai-nilai kemasyarakatan pula, aspek fiqh keutamaan ini tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Masyarakat kita lebih mementingkan ibadat fardu yang bersifat nafsi-nafsi semata-mata lantas meminggirkan konsep ibadat yang lebih global di luar ruang lingkup diri. Ibadat fardu yang berasaskan prinsip jemaah seperti hak-hak jiran, kemanusiaan dan kenegaraan yang masih terabai. Kumpulan diutamakan dari ummah, furu' diutamakan dari usul.

Melakukan perbandingan kepelbagaian konsep Masalih atau Manafi' di mana hakikat Masalih itu ada tingkatannya tersendiri yang meliputi konsep daruriyyat, hajiat dan tahsiniyyat. Melakukan perbandingan kepelbagaian konsep Mafasid atau Darar di mana hakikat Mafasid itu juga menyentuh tingkatannya yang meliputi konsep daruriyyat, hajiat dan tahsiniyyat. Melakukan perbandingan antara kepelbagaian Masalih dan Mafasid di mana keputusan yang diambil mengikut kadar yang lebih banyak dan majoriti kerana kadar majoriti boleh menentukan hukum bagi keseluruhan bahagian.

Justeru itu, suatu yang kurang penting tidak wajib dipentingkan. Apa yang wajar didahulukan hendaklah diketengahkan, suatu yang wajar dikemudiankan hendaklah dikemudiankan, perkara yang kecil tidak patut dibesar-besarkan, sementara perkara yang penting tidak wajar dipermudah-mudahkan. Dengan lain perkataan tiap-tiap suatu hendaklah diletakkan pada tempatnya secara berimbangan. Allah SWT. berfirman yang bermaksud:

Dan Allah telah meninggikan langit dan meletakkan neraca keadilan, supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

(Surah al-Rahman: 7-9)

Sumber : Utusan Malaysia



Fahaman Wahabi ini terlalu kerap ditimbulkan oleh pelbagai pihak samaada dari golongan muda ataupun golongan tua. Sejak sekian lama juga saya sering kali ditanyakan isu-isu berkaitan fahaman Wahabi. Pelbagai persoalan diajukan kepada saya samada melalui Email dan YM ataupun melalui PM di iLuvislam. Di antara mereka ini ada yang meminta saya untuk menyediakan sedikit sebanyak info dan maklumat berkaitan dengan fahaman Wahabi ini. Di samping itu, saya juga tidak terlepas dari menerima kritikan dan cemuhan dari golongan Wahabi setiap kali saya berhujjah dan berbincang dengan mereka.

Di sini saya cuba memberikan beberapa maklumat untuk dijadikan panduan untuk sahabat-sahabat semua bagi mengenali fahaman Wahabi. Tujuan utama saya menulis dan menyediakan artikel ini bukanlah bertujuan untuk mencari gaduh dengan golongan Wahabi akan tetapi penyediaan artikel ini adalah perbincangan yang sempat ditulis semula. Artikel ini juga saya sediakan secara ringkas dan ia masih memerlukan beberapa penerangan dan penjelasan lebih lanjut lagi. Ini bukanlah suatu tuduhan melulu tanpa periksa namun inilah cerita sebenarnya. Bagi mengukuhkan lagi kepercayaan peribadi, pembaca bolehlah menyemak sendiri kitab-kitab yang telah dikarang oleh para ulama muktabar bagi membincangkan fahaman Wahabi ini.

Antara cara-cara mudah mengenali mereka samada berfahaman Wahabi ataupun tidak ataupun terkena sedikit tempias dari fahaman Wahabi adalah:

Dari Sudut AQIDAH:

01. Gemar membahagikan-bahagikan tauhid kepada tiga bahagian iaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan al-Asma Wa al-Sifat lantas menyamakan umat Islam kini dengan musyrikin Mekah.

02. Menyesatkan manhaj Asyairah dan Maturidiyah yang merupakan dua komponen utama dalam Ahli Sunnah Wal Jamaah.

03. Kritikal terhadap sisitem pengajian Sifat 20.

04. Gemar membahaskan ayat-ayat mutasyabihat dan membahaskan perihal istiwa Allah Taala, tangan Allah Taala, di mana Allah Taala dan lain-lain ayat mutasyabihat lagi lantas memahami ayat-ayat itu dengan zahir ayat dan mencerca mereka yang mantakwil ayat-ayat ini. Akhirnya mereka secara tidak sedar termasuk di dalam golongan Mujassimah dan Musyabbihat.

05. Sering meletakkan isu-isu fiqh dalam bab aqidah, seperti tawasul dan istighatsah lantas mensyirikkan dan mengkafirkan amalan-amalan yang tidak sehaluan dengan mereka. Juga mensyirikkan amalan yang tidak dipersetujui contohnya mambaca salawat syifa dan tafrijiah dll.

06. Mudah melafazkan kalimah syirik dan kufur terhadap amalan yang mereka tidak persetujui (Khawarij Moden).

07. Amat kritikal terhadap tasawuf serta tarikat dan mengatakan bahawa tasawuf dan tarikat diambil daripada ajaran falsafah Yunan, agama Buddha dan dll.

Dari Sudut FIQH:

01. Kritikal terhadap mazhab-mazhab fiqh dan menganggap sesiapa yang berpegang kepada satu mazhab adalah taksub dan jumud. Mereka akan menyarankan mengikut fiqh campuran atas corak pemahaman mereka dan menamakannya sebagai Fiqh Sunnah.

02. Membahagikan manusia kepada tiga golongan iaitu mujtahid, muttabi dan muqallid dan mencerca golongan muqallid. Bagi mereka hanya menyeru kepada mengikut seorang alim atau imam itu hanyalah dengan dalil walaupun pada hakikatnya mereka tidak memahami dalil tersebut.

03. Gemar membangkitkan isu-isu furuk yang sudah lama diperbahaskan oleh para ulama terdahulu seperti isu tahlil, talqin, qunut subuh, zikir berjamaah, zikir dengan bilangan tertentu, lafaz niat solat, ziarah makam para nabi dan ulama, sambutan maulidur rasul dll.

04. Perkataan bidaah sentiasa diulang-ulang pada perbuatan yang mereka tidak setuju. Bidaah di dalam agama bagi mereka hanyalah sesat dan akan menjerumuskan pembuatnya ke dalam neraka. Kata-kata Imam Syatibi pada pembahagian bidaah akan mereka ulang-ulangi. Menurut fahaman mereka pembahagian ulama lain pada bidaah hanyalah bidaah dari sudut bahasa.

05. Wahabi secara umumnya mengaitkan amalan-amalan tertentu kononnya sebagai rekaan dengan hawa nafsu atau kejahilan para ulama terdahulu manakala Wahabi di Malaysia cuba mengaitkan amalan yang mereka tidak persetujui hanyalah rekaan para ulama Nusantara.

06. Hanya berpegang kepada suatu pendapat dalam hukum hakam fiqh jika mempunyai dalil yang zahir dan amat gemar meminta dalil dari al-Quran dan al-Hadis seolah-olah mereka dapat membuat perbandingan sendiri kuat lemahnya sesuatu pendapat berdasarka dalil yang dijumpai.

Dari Sudut MANHAJ:

01. Berlebih-lebihan pada mengkritik mereka yang tidak sehaluan dengan mereka baik ulama terdahulu mahupun sekarang.

02. Menganggap bahawa hanya mereka sahajalah yang benar dan merekalah sahajalah pembawa manhaj salaf yang sebenar.

03. Bersikap keras kepala dan enggan menerima kebenaran walaupun dibentangkan beribu-ribu hujjah. Bagi golongan Wahabi dalil mereka yang menentang mereka semuanya lemah atau telah dijawab.

04. Amat gemar berdebat walau di kalangan masyarakat awam.

05. Terlalu fanatik kepada fahaman dan tokoh-tokoh yang mereka diiktiraf mereka seperti Muhammad Abdul Wahab, Abdul Aziz bin Baz, Nasir al-Albani, Muhammad Soleh al-Utsaimin, Soleh Fauzan dll.

06. Mudah mengatakan bahawa ulama terdahulu sebagai silap ataupun sesat dll.

07. Mendakwa mereka mengikut manhaj salafi pada urusan aqidah dan fiqh walaupun hakikatnya mereka amat jauh sekali dan tidak memahaminya.

08. Cuba untuk menyatukan semua pihak atas fahaman mereka lantas menyebabkan perpecahan umat.

09. Sebahagian mereka juga bersikap lemah lembut pada kuffar dan berkeras pada umat Islam.

10. Menyesatkan dan memfasiqkan sesiapa yang bercanggah dengan mereka serta melebelkan dengan pelbagai gelaran.

11. Seolah-olah menyamatarafkan hadis dhoif dengan hadis maudhuk lantas mendakwa mereka hanya mengikut hadis yang sahih selain kritikal terhadap penerimaan riwayat dan taasub dengan penerimaan atau penolakan Nasir al-Albani semata-mata.

12. Membuat khianat ilmiah samada pada penulisan atau pada pantahqiqan kitab-kitab lama terutamanya.

PENUTUP

Hampir keseluruhan artikel ini saya ambil dari kertas kerja yang pernah disediakan dan dibentang sendiri oleh sahabat saya iaitu Ustaz Syed Abdul Kadir bin Syed Hussin Aljoofre. Cuma beberapa perkara sahaja saya buang dan tambah agar lebih natural untuk dibaca. Semoga penulisan ini menjawab pelbagai persoalan mengenai fahaman Wahabi ini dan ia boleh membawa manfaat kepada umat Islam sejagat. Saya doakan agar semua pihak mendapat hidayah dari Allah Taala. Aminnn.

‘Memberi dan Berbakti’

Sekian. Wallahualam.





Benarkah al-Imam Abu Hassan Al-Ash'ari rahimahullah kembali kepada Pemahaman Aqidah Salafi(seperti kefahaman Wahabi)??
Dimasukkan oleh IbnuNafis Label: Artikel Pilihan Jom Faham

Oleh : Ustaz Nazrul Nasir

Semalam saya melayari laman web para ulama Islam dunia.Tertarik dengan penulisan daripada Syeikh Nuh Ha Mim Keller, salah seorang ulama Islam dari United Kingdom.

Beliau menjawab persoalan yang diajukan oleh seseorang berkenaan sejauh mana kebenaran dakwaan golongan Salafi Wahabi yang mengatakan bahawa al-Imam Abu Hassan Ash’ari rahimahullah sebenarnya telah kembali semula kepada pemahaman aqidah seperti yang dipegang oleh golongan Hanabilah Mujassamah (seperti mana yang dipegang oleh Salafi Wahabi sekarang) sebelum beliau wafat. Malah mereka juga mengatakan bahawa al-Imam bermimpi sekali lagi bertemu Rasulullah sallallahu alaihi wasallam setelah beliau kembali kepada pemahaman aqidah Hanabilah Mujassamah tersebut dan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memuji tindakan beliau dan mengatakan bahawa jalan yang dipilih sekarang adalah benar.

Jawapan Syeikh Nuh Ha Mim Keller ringkas dan padat. Saya akan cuba memberikan isi penting jawapan yang diberikan oleh Fadhilatul Syeikh buat tatapan umum.

Menurut Fadhilatul Syeikh Nuh Ha Mim , dakwaan al-Imam Ash’ari rahimahullah ( wafat 324 H/936 M) kembali kepada pegangan asal Hanabilah Mujassamah sebelum wafat bukanlah satu dakwaan yang baru dicipta pada zaman sekarang. Sebaliknya perkara ini telah dilakukan oleh golongan Hanbali Mujassim sejak dahulu lagi.Al-Imam al-Hafiz Abi al-Qasim Ali Ibn Asakir (wafat 571H) telah mengkaji secara terperinci sejauh mana kebenaran tersebut berdasarkan ilmu sanad (chains of narrators) yang direka oleh golongan tersebut.Hasil kajian yang dilakukan oleh al-Imam al-Hafidz Ibn Asakir rahimahullah jelas menunjukkan bahawa segala dakwaan dan sanad yang dibawa dan dijadikan hujjah oleh golongan Hanbali Mujassim tersebut (yang mendakwa bahawa al-Imam Ash’ari kembali semula kepada Mazhab mereka)ternyata satu penipuan dan dongengan semata-mata.Perkara ini dijelaskan secara terperinci di dalam kitab beliau yang bertajuk Tabyin Kazbi al-Muftari Fima Nusiba ila al-Imam Abu Hassan al-Ash’ari.Kitab ini ada terdapat di pasaran dan kepada sesiapa yang ingin membuat kajian dengan lebih lanjut maka bolehlah merujuk kepada kitab ini.

Kita juga sering mendengar golongan Salafi Wahabi ini mengatakan bahawa sebelum al-Imam Ash’ari rahimahullah wafat beliau ada menulis kitab al-Ibanah an Usuli al-Diyanah.Golongan salafi mendakwa bahawa tulisan ini menjelaskan secara langsung bahawa Imam Ash’ari benar-benar mengikuti manhaj pemikiran yang mereka inginkan.Adakah benar pernyataan ini?
Al-Imam Zahid Kawthari rahimahullah (wafat 1371 H) menjawab persoalan ini dengan mengatakan bahawa :

“Kitab Ibanah adalah merupakan antara penulisan pertama al-Imam Ash’ari rahimahullah setelah keluar daripada Mazhab Muktazilah.Penulisan kitab ini juga bertujuan memberikan kesedaran dan menerangkan kebenaran kepada Barbahari (salah seorang yang berfahaman Hanbali Mujassim wafat pada 328 H)berkenaan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.Sesiapa yang mengatakan bahawa kitab ini adalah kitab yang terakhir maka sebenarnya telah melakukan kesilapan.Lebih-lebih lagi setelah berlakunya perubahan demi perubahan daripada kitab asal Ibanah yang dilakukan oleh para pengikut Barbahari terutamanya setelah berlakunya fitnah aqidah di Baghdad pada ketika itu.Para ulama Syafie’ dijatuhkan dan golongan Hanabilah Mujassamah berkuasa dan menjadikan aqidah mereka sebagai pegangan ketika tersebut.(perkara ini disebutkan oleh al-Imam Ibn Asakir di dalam kitabnya al-Kamal fi al-Tarikh jilid 7 :114)Oleh kerana itulah berlakunya banyak perubahan dan pengkhianatan terhadap kitab al-Imam Ash’ari (Sayf al-Saqil mukasurat 108)."

Hujjah mimpi yang digunakan oleh golongan Salafi Wahabi untuk membenarkan percakapan mereka adalah satu perkara yang tidak boleh diterima.Ini kerana para ulama bersepakat mengatakan mimpi orang biasa selain para Nabi dan Rasul tidaklah boleh menjadi hujjah.Al-Imam Zahid Kawthari rahimahullah menyebutkan:

“Golongan Mujassimah ini yang mereka-reka cerita mimpi tersebut.Mereka tidak dapat membuktikan dengan mencari hujah secara nyata maka mereka pun tidur dan setelah terjaga maka mereka pun mengatakan bahawa sebenarnya Imam Ash’ari bermimpi bertemu Rasulullah dan memuji mazhabnya yang baru(yang didakwa oleh golongan Wahabi).Ini semua dilakukan semata-mata untuk memenuhkan isi kitab mereka dengan hujah-hujah dangkal mereka”

Pelik kan? Golongan wahabi sering mengatakan bahawa ahlussunnah wal-Jamaah Asha’irah dan Maturidiyyah menerima hujah berdasarkan mimpi.Sedangkan hakikat yang berlaku sekarang sudah jelas.Siapa sebenarnya yang suka mereka-reka cerita dan melakukan pembohongan kepada umat Islam lainnya?.Melakukan penyelewengan sejarah dan ilmu adalah kerja-kerja mereka sejak dahulu.Pemuka-pemuka mereka telah wujud sejak sebelum Ibn Taimiyah rahimahullah dilahirkan lagi.

Saya akan menerangkan tentang kitab Ibanah dan menyenaraikan serba sedikit penyelewengan golongan ini terhadap Nas asal kitab Ibanah yang ditulis oleh al-Imam Ash’ari rahimahullah pada tulisan yang akan datang.Doakan moga Allah taala memberikan kelapangan waktu dan kesempatan masa untuk menulis.

Sudah jelas lagi bersuluh golongan Salafi Wahabi ini sebenarnya sejak dahulu lagi seperti cacing kepanasan.Bila hujah tidak dapat dijawab dengan baik dan jelas maka mereka akan menghina dan mencaci maki para ulama yang menolak mereka serta menghina peribadi para ulama tersebut.Inikah sikap kita sebagai seorang pengkaji(konon-kononnya)?

Antara hujah dangkal mereka bagi menolak hujah yang diberikan oleh Syeikh al-Allamah Zaini Dahlan rahimahullah ialah dengan mengatakan bahawa sebenarnya Syeikh Zaini Dahlan suka menghisap rokok. Di sebabkan Syeikh Muhammad Abd Wahab mengharamkan rokok maka Syeikh Zaini Dahlan menulis kitab bagi menolak golongan Wahabi.

Beginikah hujah ilmiyah yang mereka canangkan? Inilah yang kita katakan, sudah bodoh sombong pula.Kebenaran sudah didepan mata, tapi kita hairan golongan ini suka mencari publisiti murahan dengan mengikuti golongan-golongan pinggiran yang tinggi di mata mereka.Moga Allah memberikan rahmat dan hidayah pada kita semua.Amin Ya Rabbal A’lamin.

Mohd Nazrul Abd Nasir ,
Rumah Kedah Hayyu 10,
Kaherah Mesir.

Sumber : Http://NazrulNasir.Blogspot.Com/
NazrulNasir.Blogspot.Com



Ustaz Haji Abdul Raof Pondok Tampin

Ahlus Sunnah Wal Jamaah A-syairah-
Penyaksian Para Ulamak Umat dan Dalil-dalil mereka.

Sebuah kitab (buku) yang benar-benar menjawab kemuskilan dan kesamaran terhadap akidah dan Para Pemuka mazhab Ahlissunnah waljamaah aliran Asyairah ( para pendukung fahaman Imam Abu Hasan al Ashari) . Iaitu fahaman pengajian tawhid (sifat 20) yg telah didukung berkurun-kurun lamanya oleh kiyai-kiyai, tuan-tuan guru pondok/pesentren dan awamnya, senusantara khasnya , dan dunia Islam amnya.
Sebuah buku yang telah ditaqriz (diberi kata-kata aluan dengan sanjungan dan pujian) oleh 10 orang ulama terkini yang terkemuka diseluruh dunia.
1. Dr. Muhammad Hasan Hito.
2. Dr. Muhammad Fawzi Faidhullah.
3. Dr. Muhammad Said Ramadhan.
4. Dr. Ujail Jasim an Nasyami.
5. Dr. Ali Jum'ah- Mufti Mesir.
6. Dr. Muhammad Abd. Ghaffar syarif.
7. Dr. Wahbah Zuhaili.
8. Dr. Abd. Fattah Bizam- Mufti Dimasyq.
9. Dr. Husain bin Abdullah al-Ali.
10. Al Habib Ali al Jifri.
Sebuah kitab (buku) yang membahaskan 51 tajuk dan disudahi dengan satu khatimah (penyudah) yang sangat menarik dan dapat membersihkan sangkaan buruk terhadap pelajaran tawhid sifat 20.
diantara kandungannya: biodata Imam Asyhari r.a , penolakan terhadap dakwaan tiga peringkat akidah Imam Ashaari, adakah Imam Abdillah bin Said bin Kilab ( Ibnu Kilab) menyeleweng dari jalan para salaf?, satu pengamatan terhadap kitab ibanah dan bukti perubahan2 yang berlaku pada teks makhthut (tulisan tangan) dan yang telah dicetak. Imam Tahawi berakidah yang bertepatan dengan akidah Asyairah. Adakah Asyairah menghampakan , mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat?.. dan bahas2 yang mampu menyejukkan hati...

Saya sangat tertarik pada satu isi penghujjahan dimuka surat 266, satu daripada saksi yang meyabitkan kelebihan Asyairah dan Maturidiyyah kerana terdapat satu hadis yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Tarikh al Kabir dan al Saghir, Imam Ahmad dalam al Musnad , al Bazar , Ibnu Khuzaimah, al Thabarani , al Hakim telah mensahihkannya dan telah diakui pentashihhan al Hakim tersebut oleh al Zahabi, Imam Sayuthi telah merumuzkan hadis tersebut dengan tanda "Sahih" dalam Jamik al Saghir beliau. Iaitu hadis :
لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير اميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش
"Akan ditawan kota Kostantiniah , maka (yang dapat menawannya adalah) Sebaik-baik Raja , adalah Rajanya dan sebaik-baik tentera adalah tenteranya .."... Maka adalah suatu yang tidak dapat dinafikan didalam sejarah, bahawa Sulthan Muhammad al Fateh ( yang dapat menawan Kostantaniah lalu menukarkannya menjadi Islambuli/Istanbuli) dan semua Sulthan Otthman Empayer adalah "Hanafiyan fil furu" , Maturidiyyan fil I'tiqod" - bermazhab Hanafi pada fekah dan bermazhab Maturidi pada akidah.

Soalnya : Adakah pujian Rasulullah s.a.w boleh berlaku untuk para mubtadi' dan sesat/penyesat?... m.s 266-268.

Pada pendapat saya, ini satu point, diibaratkan gunung Kinabalu yang tidak runtuh oleh tandukkan kambing .

Silalah dapatkannya di Halabuni atau bertanyakan al ustaz Mahfuz Muhammad. Kedai beliau di wangsa maju , kuala lumpur. Sayangnya buku ini juga dalam bahasa arab.

Lagi sebuah buku (kitab) menarik yang terdapat di kedai buku di Halabuni - Damsyik-

Baraah al asyairiyyin min aqaidil mukhalifin.
Ulamak Asyairah Bebas dari akidah akidah yang bertentang dengan ahlisunnah waljamaah.
Dua jilid serderhana , dikarang oleh Abi Hamid bin Marzuq . rhm. dicetak tahun 1967 m. Didalamnya membahaskan masalah-maslah yang timbul, yang bertentangan dengan fahaman para ulamak Asyairah. Menjelaskan persoalan ilmu tawhid uluhiyyah dan rububiyyah . Kitab yang sangat patut dimiliki dan ditatap.

Telah berkurun dulu, sangat masyhur kitab Tabyyin Kazibil Muftari- karangan Imam Ibnu Asyakir - yang mengulas tabaqat/biodata para ulamak Asyairah dan mempertahankan akidah Asyairah. Baru-baru ni , Semasa kami dalam perjalanan menziarahi makam Sayyidah Ummu Salamah dan Ummu Habibah r.anhuma, di Damsyik, saya ternampak satu kubur/makam berpagar di pinggir jalan , hati saya sangat tertarik kepadanya , setelah dihampiri , rupa-rupanya adalah makam/ kubur Imam Ibnu Asyakir . Hati saya sangat gembira sebab bertemu makam Tuan Kitab at-Tabyyin tersebut yang selalu saya tatap, tiba-tiba direzekikan Allah bertemu, tanpa disangka-sangka. Allhamdulillah.

Sumber : Http://pondoktampin.blogspot.com/
pondoktampin.blogspot.com
Berkata al Hafiz al Sakhawi didalam kitab beliau berjodol fi’“Al Qaulul Badi’ fi sholati a’la al habibi al syafi”…



DR. ASMADI MOHAMED NAIM

umat islam hanya mentauhidkan Allah yang esa dan tidak menyembah makhluk lain.

APABILA ditanya dari mana nas al-Quran dan sunnah yang menyebut pembahagian yang jelas bagi tauhid tiga serangkai iaitu tauhid uluhiah, tauhid rububiah dan tauhid asma' wa sifat, pendokongnya yang mengaku berpegang dengan al-Quran dan sunnah pun, teragak-agak mendatangkan hujah.

Lantas mendatangkan hujah-hujah berbentuk taklid iaitu WAMY, ulama-ulama lain dan silibus-silibus beberapa buah universiti yang menyokong. Itu sebenarnya taklid.

Kadang-kadang didatangkan nukilan al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq berkaitan dengan tafsiran perkataan 'ahlussunnah' sebab mahu bergantung dengan ulama silam Ahlussunnah, namun ditiadakan syarahan bahawa Imam al-Baghdadi sebenarnya mensyarahkan tauhid Sifat di dalam kitab tersebut apabila beliau mensyarahkan firqah najiah (firqah yang selamat). Bahkan perkataan 'tauhid-tauhid sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal itulah antara sifat-sifat 20.

Lihat bagaimana Imam al-Baghdadi mensyarahkan pandangan Ahlussunnah dalam mentauhidkan sifat Allah SWT:

"Mereka ijmak bahawa tempat tidak meliputiNya (Allah SWT tidak bertempat) dan masa tidak mengikatnya, berbeza dengan firqah al-Hasyamiah dan al-Karamiah, yang mengatakan Allah memegang arasynya".

(Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal.256).

Dalam isu tauhid, amat merbahaya kita bertaklid. Sepatutnya didatangkan nas-nas yang jelas berkaitan pembahagian tiga serangkai tersebut bersesuaian sekiranya kita bersarjanakan al-Quran dan sunnah.

Kalau berdoa selepas solat secara berjemaah yang tidak ditunjuk oleh hadis secara jelas pun dituduh bidaah dan sesat oleh sesetengah orang (walau berdoa disuruh dalam al-Quran dan sunnah), apatah lagi isu pokok dan besar seperti tauhid.

Apabila ditanya, mana dalil al-Quran dan sunnah apabila anda mengatakan penyembah berhala bertauhid dengan tauhid rububiah (tanpa tauhid uluhiyah)? Lantas akan dinyatakan kata-kata si polan dan polan mengatakan perkara ini dan di sokong pula dengan ulama-ulama ini dan ini.

Persoalan saya: Kenapa tidak ada sepatah pun ayat al-Quran dan hadis atau kata-kata ulama-ulama Salafussoleh (tiga kurun pertama) mengenai perkara ini?

Memang benar ada ayat yang bermaksud:

Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah SWT).

(al-Zukhruf: 87).

Dalil ini digunakan untuk menunjuk- kan orang-orang Musyrik (penyembah berhala) beriman dengan iman rububiah. (Mohd. Naim Yasin, hal.11).

Namun kenapa tidak dicantumkan dengan ayat selepasnya?

Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman.

(al-Zukhruf: 88).

Tidak pula al-Quran mahupun sunnah menyebut orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah sahaja! Ini persoalan akidah, sepatutnya ada nasnya secara jelas.

Sebaliknya al-Quran mengatakan dengan jelas bahawa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Mana dalilnya sebab ini persoalan akidah?

Ini adalah taklid. Kenapa kita membenarkan taklid dalam soalan akidah sebegini? Kita amat tidak adil apabila membenarkan taklid pada persoalan akidah sebegini.

Lantas kemungkinan saya pula ditanya:

Apa dalil kamu dari al-Quran dan sunnah yang menyebabkan kamu mengkhususkan Sifat 20 untuk Allah SWT?

Maka saya berkata:

"Bahawasanya Allah SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan maha suci dari segala kekurangan. Sesungguhnya ketuhanannya melazimkan kesempurnaan mutlak secara khusus untuk ZatNya.

"Kemudian, kami memilih sifat-sifat terpenting daripada sifat-sifatNya yang maha sempurna dan kami menjelaskannya secara terperinci perkara-perkara dan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengannya

(Lihat al-Buti, 1992, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyyah, h108).

Adalah satu fitnah sekiranya kami dikatakan menghadkan sifat Allah SWT kepada 20 sahaja!

Saya mungkin ditanya lagi:

Mana dalilnya dari al-Quran dan sunnah? Saya akan mengatakan bahawa semua sifat dua puluh itu ada dalilnya di dalam al-Quran dan sunnah. Kalau mahu diperincikan, boleh dilihat dalam semua buku yang mensyarahkan Sifat 20.

Saya ditanya lagi: Bukankan Sifat 20 itu susunan Muktazilah?

Saya berkata:

Sekiranya saudara membaca sejarah Islam silam, saudara akan memahami bahawa pada zaman Khalifah Abbasiah iaitu Ma'mun bin Harun ar Rasyid (198H-218H), al-M'tashim (218H-227H) dan al-Watsiq (227H-232H) adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah.

Dalam sejarah Islam, dinyatakan terjadinya apa yang dinamakan 'fitnah al-Quran itu makhluk' yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah.

Pada masa itu, Imam Abu Hassan al-Asy'ari muda remaja, dan belajar kepada seorang Sheikh Muktazilah, iaitu Muhammad Abdul Wahab al-Jabai (wafat 303H).

Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) melihat terdapat kesalahan besar kaum Muktazilah yang bertentangan dengan iktiqad (keyakinan) Nabi SAW dan sahabat-sahabat baginda, dan banyak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Lantas beliau tampil meninggalkan fahaman Muktazilah dan menongkah hujah-hujah kaum Muktazilah.

Kefahaman Masyarakat

Bermula dari itulah, Imam Abu Hassan al-Asy'ari melawan kaum Muktazilah dengan lidah dan tulisannya. Justeru, susunan tauhidnya bermula setelah dia berjuang menentang Muktazilah dan mengembalikan kefahaman masyarakat kepada al-Quran dan sunnah.

Di atas jalannya, ulama silam menelusuri, antaranya ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365H), Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat 411H)., Imam al-Hafiz al-Baihaqi (wafat 458), Imam Haramain al-Juwaini (wafat 460H), Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465H), Imam al-Baqilani (wafat 403H), Imam al-Ghazali (wafat 505H), Imam Fakhrurazi (wafat 606H) dan Imam Izzuddin bin Abd Salam (wafat 660H). (Lihat Kiyai Sirajuddin Abbas (2008). Aqidah ahlussunnah wal Jamaah, h21-23).

Tidak pernah wujud pertelingkahan antara penghuraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan pengikut-pengikut mazhab fiqh yang empat.

Kemudian saya mungkin diperlekeh kerana pengajian sifat 20 ini bentuknya kaku, lantas contoh sindirannya ialah:

"Wujud maksud ada, lawannya tiada.... akhirnya semuanya tiada".

Saya katakan sememangnya cara perbahasan Sifat 20 kena diperbaharui dan diringkaskan.

Dalil-dalil al-Quran berkaitan sifat tersebut perlu lebih dipertekankan berbanding dengan dalil-dalil akal yang rumit-rumit yang mungkin zaman kita tidak memerlukannya.

Pada saya, mungkin penulisan seorang ulama Indonesia Kiai Sirajuddin Abbas bertajuk: Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, boleh digunakan untuk memudahkan kefahaman pembaca. Buku ini masih banyak dijual di toko-toko buku di Wisma Yakin, Kuala Lumpur.

Saya kemudian ditanya berkaitan dengan sahabat-sahabat saya yang mungkin belajar dan mengajar tauhid tiga serangkai ini?

Saya katakan pengalaman saya mendengar pensyarah-pensyarah dan sahabat-sahabat saya yang mengajar tauhid pecah tiga ini, ada di kalangan mereka tidak ekstrem, tidak sampai mengkafirkan/mensyirikkan golongan yang tidak sependapat.

Contohnya bila memperkatakan tawassul dan menziarahi kubur, ada di kalangan mereka menerimanya tanpa mengkafirkannya atau menyesatkannya.

Demikian juga persoalan penafsiran ayat-ayat sifat, ada yang tidak menerima/ tidak taklid bulat-bulat kenyataan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan lebih kepada menyerahkan kepada Allah SWT. Mereka lebih suka merujuk terus ke Ibn Taymiyyah berbanding Sheikh Abd Wahhab.

Di kalangan mereka (mengikut cerita adik saya ketika dia belajar di Universiti Yarmuk, Jordan), pensyarah Aqidahnya mengatakan: Kamu orang-orang Malaysia, ramai mengikut Ahlu sunnah aliran Asyairah.

Namun, tauhid yang diajarkan ini mengikut susunan Ibn Taymiyah kerana menjadi silibus Universiti ini (pada masa itu). Terserah kepada kamu mengikut keyakinan Asyairah itu (tanpa beliau menyesatkannya).

Mereka menyedari ramai ulama silam (sama ada muhadithin, fuqaha' atau mufassirin) dari kurun ke tiga Hijrah berpegang kepada huraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333H).

Walaupun begitu, ada yang amat ekstrem dalam pegangannya sehinggakan menyesatkan imam-imam terdahulu yang berada dalam lingkungan ratusan tahun.

Semoga pembaca membuat pertimbangan dan terbuka berkaitan isu ini. Pada saya berpegang pada tauhid susunan dan huraian orang yang dekat dengan Rasulullah SAW (al-'ali) lebih selamat dari berpegang kepada tauhid orang terkemudian dan sekarang yang kelihatan cacar marba metodenya dan bertaklid dengan orang-orang baru (al-nazil).

Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kesesatan dan menganugerahkan kita jalan yang lurus.

Sumber : Utusan Malaysia



Salam Mujahadah ♥ Jemput baca & sebarkan ^_^
ShortForm bagi lafaz السلام عليكم.. Boleh ke tak???

Wlupuni dah lama dipbahaskan, tapi masih ramai yg kliru, jdi maksue tertarik utk cri n rujuk dr bbrapa sumber. Lepas baca ni dah2la noo, xmau dah bising2 bab shortform ni..Dah jelas & nyata insyaALLAH.. ~Moga istifadah~
ertiketenangan.blogspot.com
‎"Pandanglah kecantikan hanya suatu keindahan yang bukan untuk diagungkan-agung kan. Namun, janganlah memandang keburukan suatu kehodohan atau kecelaan. Tetapi, Bersyukurlah atas apa yang dikurniakan kepada kita. Kerana kedua-duanya adalah anugerah dari ALLAH s.w.t. Sentiasa ucapkan : الحمد لله ^_

FAHAMI SEBENAR-BENARNYA MENGAPA KITA BERDOA!

بسم الله ، والحمد لله ، والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه ومن والاه

(Dengan nama Allah, Segala puji bagi Allah, Selawat dan salam ke atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan para pengikut Baginda)

Berdoa bukanlah perkara asing dalam kehidupan kita orang Islam. Setiap hari kita tidak lekang dari berdoa. Bahkan masyarakat kita sangat sebati dengan amalan berdoa. Dalam apa jua acara, seperti majlis perkahwinan, majlis berpindah rumah dan sebagainya, doa menjadi inti daripada acara tersebut. Akan tetapi sejauh manakah kefahaman kita mengenai doa itu? Sejauh manakah penghayatan kita ketika berdoa?

Kita dapati ada segelintir masyarakat kita yang bersikap cuai atau bosan atau tidak bersungguh-sungguh untuk berdoa. Ada di antara mereka merungut apabila pembaca doa membaca doa-doa yang panjang, berkata-kata sedang kedua tangannya menadah ke langit, sambil lewa, tidak mengaminkan doa dan malah ada juga yang langsung tidak mahu berdoa. Doa hanya setakat di bibir atau hanya tangan ditadahkan menyambut doa tetapi fikiran entah ke mana.

Oleh itu eloklah dijelaskan di sini, apakah sebenarnya hakikat doa itu dan kepentingannya bagi seorang hamba serta beberapa perkara berkaitan dengannya.

Doa Itu Ibadat Dan Senjata Orang Mukmin

Doa adalah permintaan atau permohonan seorang hamba kepada Allah Subahanahu wa Ta‘ala dan sebagai jalan untuk menyatakan hajatnya. Hajat seseorang itu terlalu banyak, tidak terkira, lebih-lebih lagi di saat-saat ia susah, menderita ditimpa bencana. Doa itu adalah ibadat kerana ia merupakan penyataan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala akan kelemahan dirinya. Ia juga merupakan pengakuan seorang hamba bahawa Allah Subhanahu wa Ta‘ala Maha Berkuasa sama ada untuk memakbulkan doanya atau sebaliknya.

Daripada an-Nu‘man bin Basyir beliau berkata:

Maksudnya:

“Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Doa itu ibadat.” Kemudian Baginda membaca (ayat al-Qur’an, surah Ghafir: 60 yang tafsirnya): “Dan Tuhan kamu berfirman: “Berdoalah kamu kepadaKu nescaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepadaKu, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.”

(Hadits riwayat at-Tirmidzi)

Doa juga merupakan senjata orang mukmin, tiang agama dan cahaya langit dan bumi, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

الدُّعَاءُ سِ َ لاحُ اْلمُؤْمِ ِ ن وَعِمَادُ الدِّي ِ ن وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْ ِ ض
(رواه الحاكم)

Maksudnya: “Doa itu senjata orang mukmin, tiang agama dan cahaya langit dan bumi.”

(Hadits riwayat al-Hakim)

Doa mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta‘ala, kerana doa itu penyataan seorang hamba akan kefakiran, kelemahan serta kehinaannya dan pengakuannya
terhadap kekuatan, kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

َ

ليْسَ شَيْءٌ َأكْرَمَ عََلى اللهِ تَعَاَلى مِنَ الدُّعَاءِ
(رواه الترمذى)

Maksudnya: “Tidak ada sesuatu (zikir dan ibadat) yang lebih mulia di sisi Allah Ta‘ala daripada doa.”

(Hadits riwayat Tirmidzi)

Allah Murka Kepada Sesiapa Yang Tidak Berdoa

Allah Subhanahu wa Ta‘ala murka kepada sesiapa yang tidak berdoa atau tidak memohon sesuatu kepadaNya. Ini kerana orang yang meninggalkan doa itu dikatakan sebagai sombong, takbur dan tidak memerlukannya. Menurut ath-Thibiy Rahimahullah, bahawa kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala itu adalah kerana Allah menyukai orang yang memohon kurniaanNya, maka sesiapa yang tidak memohon kepada Allah nescaya Dia membencinya, dan orang yang dibenci itu sudah tentu dimurkai. Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ َلمْ يَسَْأ ِ ل اللهَ يَغْضَبْ عََليْهِ
(رواه الترمذي)
Maksudnya: “Sesiapa yang tidak memohon (meminta) kepada Allah, Dia (Allah) murka kepadanya.”

(Hadits riwayat at-Tirmidzi)

Berkata Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu:

ِإنَّ َأبْخَ َ ل النَّا ِ س مَنْ بَخِ َ ل ِبالسَّلاِم، وََأعْجَزَ النَّا ِ س مَنْ عَجَزَ عَ ِ ن الدُّعَاءِ
(رواه أبو يعلى)

Maksudnya: “Bahawa sebakhil-bakhil manusia adalah siapa yang bakhil memberi salam, dan selemah-lemah manusia adalah siapa yang lemah (malas) untuk berdoa.”

(Hadits riwayat Abu Ya‘la)

Janji Allah Memakbulkan Doa

Allah Subhanahu wa Ta‘ala memerintahkan dan mendorong hambaNya untuk berdoa dan memohon kepadaNya. Dia telah berjanji untuk memakbulkan permohonan mereka, bahkan Allah Subhanahu wa Ta‘ala malu jika menolak permintaan hambaNya dengan tangan kosong.

Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Tafsirnya: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu mengenai Aku maka (beritahu kepada mereka): Sesungguhnya Aku (Allah) sentiasa hampir (kepada mereka); Aku perkenankan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu.”

(Surah al-Baqarah: 186)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Maksudnya:

“Sesungguhnya Tuhan kamu Tabaraka wa Ta‘ala Pemalu lagi Pemurah, Dia malu kepada hambaNya apabila (berdoa) mengangkat kedua tangannya memohon kepadaNya, dan mengembalikan kedua tangannya dengan tidak memberikannya apa-apa (daripada rahmatNya).”

(Hadits riwayat Abu Daud)

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

Maksudnya:

“Tiada seorang yang memohon kepada Allah dengan satu doa melainkan dimakbulkan untuknya, sama ada disegerakan permohonannya itu di dunia, dan sama ada disimpan permohonannya itu di akhirat, dan sama ada diampunkan dia dari dosa-dosanya dengan kadar yang dipohonkan, selagi dia tidak memohon perkara dosa atau memutus silaturrahim atau tergesa-gesa (untuk dimakbulkan doanya).” Mereka berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimana tergesa-gesa itu? Baginda bersabda: “Dia berkata: Aku berdoa kepada Tuhanku namun Dia tidak memakbulkan untukku.”

(Hadits riwayat at-Tirmidzi)

Berdasarkan hadits yang disebutkan di atas, jelas bahawa Allah Subhanahu wa Ta‘ala pasti akan memakbulkan permohonan orang yang berdoa.

Di dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi Syarah Jami‘e at-Tirmidzi ada disebutkan bahawa pemakbulan doa itu mempunyai waktu yang tertentu, sebagaimana diceritakan bahawa jarak antara doa dengan pemakbulan doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam ke atas Fir‘aun, adalah selama empat puluh tahun.

Terkabulnya doa itu pula ada beberapa bentuk di antaranya:

1. Memperolehi apa yang dipohon pada waktunya.

2. Memperolehi apa yang dipohon pada waktu lain kerana terdapat hikmah di sebalik kelewatan atau kelambatannya.

3. Menolak keburukan sebagai ganti permohonannya ataupun diberi kebaikan lain yang mana lebih baik dari yang dipohonnya.

4. Permohonannya disimpan sehingga hari yang lebih diperlukan pahalanya.

5. Pengampunan dosa-dosa sekadar apa yang dipohonkan.

Berdoa Dengan Niat Yang Tulus Ikhlas Dan Jangan Berputus Asa

Kita dilarang berputus asa daripada memohon dan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta‘ala serta pertolonganNya. Ini kerana sikap melahirkan kekecewaan dan putus asa daripada
memohon kepadaNya itu adalah sikap yang tercela dan termasuk dalam dosa-dosa besar.

Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Tafsirnya:

“Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah itu melainkan kaum yang kafir.”

(Surah Yusuf: 87)

Apa yang dituntut ke atas orang yang berdoa itu ialah jangan bosan dalam berdoa. Berdoalah dengan niat yang tulus ikhlas, bersungguh-sungguh dengan menghadirkan jiwa dan yakin bahawa doanya akan dimakbulkan. Ini kerana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

Maksudnya:

“Berdoalah kamu kepada Allah dalam keadaan kamu yakin dimakbulkan dan kamu ketahuilah bahawa Allah tidak akan memakbulkan doa dari hati yang lalai serta bermain-main (dengan apa yang dipohon atau sibuk dengan urusan selain Allah Ta‘ala).”

(Hadits riwayat at-Tirmidzi)



carilah!!
sabilkhair.blogspot.com
‎*Carilah redho Allah walaupun manusia murka, nescaya Allah bersama kamu. Janganlah cari redho manusia sehingga Allah murka, nescaya Allah tidak akan bersama kamu....*




Semua penuntut Malaysia di Mesir, yang kini berdepan masalah berikutan protes ganas yang mendesak Presiden Hosni Mubarak berundur, dijangka dipindahkan dari negara itu dalam tempoh empat hari setengah.

Menteri Luar Datuk Seri Anifah Aman berkata kerajaan serius dalam usaha untuk membawa keluar warganegaranya dari Mesir dan telah mengaturkan untuk menerbangkan mereka dari Kaherah ke Jeddah, Arab Saudi.

Selain tiga pesawat C-130 milik Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang berlepas ke Mesir hari ini, katanya pesawat khas AirAsia Airbus A320 dengan kapasiti 249 penumpang juga dijadual berlepas ke Kaherah dari Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur pada kira-kira 2 petang hari ini.

Antara yang turut serta dalam penerbangan AirAsia itu ialah Menteri di Jabatan Perdana Menteri Datuk Seri Jamil Khir Baharom, Ketua Pegawai Eksekutif Lembaga Tabung Haji Datuk Ismee Ismail dan Ketua Putera Umno Datuk Abdul Azeez Abdul Rahim, yang dalam misi membantu membawa pulang pelajar Malaysia dari negara yang sedang bergolak itu.

"Pesawat itu juga akan membawa barangan makanan untuk pelajar Malaysia di Mesir," katanya kepada pemberita di sini.

Anifah berkata sebuah pesawat Malaysia Airlines, Boeing 747, yang boleh membawa 285 penumpang, akan berlepas ke Kaherah pada 9 pagi esok.

"Kami menjangkakan untuk menerbangkan sekurang-kurangnya 3,000 rakyat Malaysia dari Kaherah ke Jeddah setiap hari dan berharap semua penuntut Malaysia di sana dapat dipindahkan dalam masa empat hari setengah," katanya.

Beliau berkata kerajaan sedang menguruskan visa sementara dengan kerajaan Arab Saudi bagi membolehkan penuntut berkenaan dipindahkan ke Jeddah.

Katanya terdapat lebih 11,000 penuntut Malaysia di Mesir.

Anifah berkata kerajaan Malaysia dan Indonesia turut bekerjasama rapat dalam proses pemindahan itu.

"Sebagai contoh, pesawat MAS atau AirAsia boleh membawa rakyat Indonesia yang terkandas di lapangan terbang jika ada tempat duduk kosong," katanya.

Anifah juga menasihatkan ibu bapa yang anak mereka berada di Mesir supaya bersabar kerana keadaan adalah terkawal dan memberi jaminan yang kerajaan sedang melakukan yang terbaik untuk melindungi mereka.



orang yang tidak tahu haruslah belajar sehingga tahu , sesudah dia tahu haruslah pula dia beramal dgn apa yang dia tahu , sesudah dia tahu dan beramal dgn apa yang dia tahu haruslah pula dia mengajar apa yang dia tahu kpd org yang tidak tahu , ini supaya org yang tidak tahu itu menjadi tahu seperi mana dia tahu dan org yang tidak tahu tersebut boleh beramal dengan apa yang dia tahu dan selepas dia tahu dan beramal dgn apa yang dia tahu , dia dapat mengajar pula kpd org yang tidak tahu , dan begitulah seterusnya